Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Hadirnya Fantasi Kolektif Saat Terhimpit Sinetron dan Telenovela

20 November 2018   13:40 Diperbarui: 22 November 2018   08:10 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kompas/TOTO SIHONO)

Sebagaimana temuan tentang kesenangan fantasional, yang ditawarkan oleh tontonan tersebut. Posisi dan peran patriarki yang menguatkan maskulinitas dalam sinetron/ telenovela, lambat laun menyusup kepada kelompok perempuan, kemudian menjadi sebuah nilai-nilai yang mengekalkan dominasi patriarki atas feminisme. 

Bagi para pejuang feminis, politik didalam sinetron/ telenovela adalah sebuah kenyataan yang seharusnya dapat ditolak. Tetapi bagi para penikmatnya, hal ini tidak ubahnya menghidupkan mimpi, yang tentu saja dinikmati semua kepalsuan dalam keseluruhan adegan tersebut.

Aspek hiburan jelas tidak bisa dipisahkan begitu saja dari produk media massa ini, kemudahan dalam mencerna cerita, bahkan mempersonalisasi gambaran cerita tersebut, membuat penonton terus menunggu jam siar tayangan yang diminatinya tersebut. Bahkan tidak jarang dilibatkan dalam pembentukan naskah, dibentuk konsensus akan kelanjutan ceritanya yang paling banyak diminati.

Sebuah sinetron/ telenovela menuntut dan mengatur pemahaman serta asumsi atas wacana yang dibawanya, bisa jadi selaras ataupun diluar budaya masyarakat. Dengan demikian, pemaknaan teks atas sinetron/ telenovela dapat menciptakan aspek demokratisnya sendiri. 

Hal ini dapat dimaknai sebagai bentuk perayaan 'demokrasi semiotik', di mana khalayak terlihat bebas untuk membangun makna-makna mereka, dan efektifitas teks pada konteks produksinya.

Jadi, tentu yang terpenting saat ini, adalah memberikan efek kesadaran paska tontonan, bahwa yang ditonton jelas bukanlah realitas, dan pada realitas yang sesungguhnya hidup bisa jadi dan sangat mungkin tidak seindah apa yang hadir dilayar kaca. 

Kita tidak memungkiri efek bius dan adiksisinetron/ telenovela, tetapi sebagai bagian yang pada awalnya merupakan upaya menciptakan ruang kesenangan, dititik minimal tersebut posisinya harus kembali diletakkan.

Jika tidak, kita akan selalu terperangkap dalam ruang khayal, dan terdramatisasi. Terlebih hanya akan bertindak sebagai konsumen dalam kerangka komersialisasi fantasi semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun