Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Adakah Etika dalam Teknologi Media?

13 November 2018   07:45 Diperbarui: 13 November 2018   09:25 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketidakteraturan didunia digital, terjadi karena keberadaan teknologi yang memangkas ruang dan waktu. Seketika, terjadi koneksi dalam jarak yang dekat -proximity. Dan dalam situasi tersebut, maka semua mengalir tanpa filter, menerjang bak banjir bandang. Cyberspace membawa serta Cybercrime, dan dalam konteks penegakan hukum haruslah terbangun struktur Cyberlaw yang kuat. Dititik tersebut masalah terjadi, karena dunia maya adalah rimba raya yang tidak bertuan, ada celah kepalsuan identitas yang diperbolehkan -anonymous diperkenankan.

Terdapat ketiadaan fungsi gatekeeper -penjaga akhir, yang seharusnya memiliki tugas untuk melakukan penyaringan informasi, sebagaimana pada ruang media konvensional. Dengan demikian, seorang individu bertindak seagai self gatekeeper, yang mengharuskan terdapatnya tingkat literasi media yang baik untuk menghidupkan budaya reflektif sesaat sebelum mengkonsumsi dan mendistribusikan berita di dunia maya.

Pada kajian filosofis, (Dua, 2011) mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan cum teknologi didalamnya, tidak terlepas dari etika yang merupakan tanggungjawab atas kehadirannya, dengan demikian kita memberikan perhatian pada manusia sebagai subjek moral, yang merupakan suatu kesatuan utuh. Demarkasi garis moralitas dalam etika tersebut, akan menjadi pembatas tegas dari potensi perilaku penggunaan teknologi bagi tujuan-tujuan yang justru menjadi ancaman bagi nilai kemanusiaan itu sendiri.

Reduksi melalui Modal Sosial

Salah satu hal penting, dalam transisi budaya digital adalah penguatan modal sosial, hal ini sesuai dengan (Alyusi, 2016) yang menyatakan bahwa salah satu bentuk kekuatan dalam melakukan reduksi pengaruh dan dampak negative yang hadir dari keterhubungan sosial melalui internet adalah pembentukan interest group community yang dapat dimaknai sebagai modal sosial berupa jalinan relasi struktur sosial, nilai-nilai, moralitas dan berbagai peraturan yang mempengaruhi kohesi sosial untuk berlaku sebagai self regulated system.

Lebih jauh lagi, realitas sosial siber yang muncul dalam abad informasi ini, simpul (Nasrullah, 2018) menghadirkan kategori yang saling terkait, yakni; (1) pemaknaan -meaning, (2) orientasi -orientation, dan (3) regulasi -regulation, dimana ketiga hal tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lain, menjalin keterhubungan sehingga budaya digital terbentuk sebagai sebuah kebiasaan dalam kehidupan keseharian.

Dalam era media baru, maka ruang publik jika kemudian mengambil definisi Habermas, sesuai (Nasrullah, 2014) hanya akan tercipta bila mengadopsi (1) prinsip kesetaraan, (2) nilai keadilan dan (3) penghargaan atas kemanusiaan. Dengan demikian determinisme teknologi ala Mc Luhan merupakan rangkaian yang ditopang melalui dasar-dasar tersebut, agar tidak kehilangan makna otentiknya.

Relasi yang terfasilitasi melalui media teknologi, memang tidak melibatkan aktifitas fisik langsung, dengan demikian kehadiran digital -telepresence, atau yang kemudian dikenal sebagai presence but absent, menimbulkan kekosongan ragawi. 

Interaksi dan jalinan relasi sosial, terjadi dalam rentang jangka waktu yang pendek, tidak ada kesamaan keterhubungan bersifat ideologis jangka panjang. Hal ini merupakan ironi, tetapi sekaligus realita yang dihadapi sebagai persoalan kekinian.

Tantangan media baru, tidaklah mudah, pertanyaan mendalamnya dalam kerangka teori kritis, sebagaimana (Curran et al, 2012) bahwa internet yang awalnya diadopsi dari kepentingan militer lalu kemudian dipergunakan dalam lalu lintas komunikasi publik, adalah anak kandung dari prinsip kapitalisme, dengan demikian, mungkinkah internet melampaui kepentingan kapitalisme dalam rangka membangun ruang emansipasi dan partisipasi publik guna mencerahkan? 

Ataukah hanya semata menjadi salah satu upaya dalam kerangka memperluas pasar guna kepentingan kapital laba. Maka pertanyaan etika dalam logika kapitalisme, hanya akan terkubur dalamruang dan forum akademis semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun