DIPERSIMPANGAN JALAN. Setidaknya demikian kita dapat mendefinisikan situasi media massa di tanah air. Tidak mudah untuk mengambil sikap independen, sebagai sebuah media massa yang bebas nilai serta kepentingan, tanpa intervensi maupun campur tangan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Isi dari sebuah media massa, baik dalam kerangka produksi, distribusi dan konsumsi tidak terlepas atas proyeksi kepentingan kuasa kepemilikan yang bernuansa bisnis dan ekonomi, termasuk dalam lingkup interkoneksi relasi politik. Semestinya, dalam era demokrasi posisi media massa menjadi pilar penopang dari tegaknya kehidupan berdemokrasi itu sendiri.
Media kemudian menjadi ruang perebutan pengaruh dalam melakukan persuasi, memberikan dampak pengaruh kepada khalayak, dengan berbagai motif kepentingan yang diinginkan terjadi. Konstruksi realitas melalui media, terjadi dalam nilai-nilai yang hendak dimunculkan, serta dibentuk melalui keberadaan media sebagai sarana instrumentasi perluasan gagasan. Disisi yang berbeda, media massa tidak mampu menumbuhkan fungsi penyeimbang -balancing, bersikap kritis dan sekaligus bertindak sebagai lembaga penjaga -watchdog pemerintahan berkuasa (Simarmata, 2014).
Tumpulnya sikap kritis dari media massa, terjadi lebih disebabkan karena kegagalan fungsi yang seharusnya hadir bersamaan dengan kelahiran media tersebut. Sebagaimana (Schechter, 2007) sebutkan diantaranya keberadaan fungsi media meliputi; (1) perpanjangan panca indera publik, (2) sebuah bentuk kesadaran, (3) alat interaksi sosial, (4) wahana perdebatan dan pembuatan keputusan, serta (5) menjadi ruang bagi partisipasi dan pelibatan publik dalam kerangka diskusi publik.
Sepanjang sejarahnya dalam wajah media massa domestik, keberadan media memang tidak terlepas dari bagaimana kontrol dan pengaturan negara sebagai otoritas politik yang melakukan pengelolaan kehidupan berbangsa serta bernegara. Hal itu tercermin dari bagaimana perlakuan setiap rejim pemerintahan atas media. Perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru, dari yang sebelumnya media bersifat politik dan partisan partai politik menjadi sangat tersentralisir dan dalam sensor pengaruh kepentingan kekuasaan.
Diksi "stabilitas politik atas nama pembangunan" sebagaimana yang dikumandangkan Orde Baru menjadi panglima sekaligus paradigma media massa. Keharusan ijin pada pemangku kekuasaan saat itu, membuat pers dan media massa hanyalah stempel dari pemerintah. Tidak ada berita yang berbeda, terlebih dominasi lembaga siaran pemerintah seperti RRI dan TVRI terilang monopolistik, situasi ini tergambar dari paparan (Sen & Hill, 2000) yang menyatakan proses pemberitaan saat itu menuju homogenisasi, aspek singularitas berita dibangun sesuai dengan tafsir penguasa tanpa ada pemaknaan berbeda, pluratitas makna adalah hal terlarang.
Pragmatisme Media
Dimulainya pembukaan keran deregulasi monopoli informasi, membuka keran bagi peran serta swasta dalam pengelolaan media. Bahkan lebih jauh lagi, hal tersebut berimplikasi pada periode industrialisasi media. Orientasi keuntungan menjadi hal yang lumrah, setelah sebelumnya TVRI tidak diperkenankan untuk menayangkan iklan sebagai upaya restriksi atas budaya konsumerisme yang ditimbulkan sebagai dampaknya. Maka kemudia perlahan era keterbukaan mulai menerpa.
Dalam kajian (Yovantara & Utomo, 2015) diketahui bahwa setelah era deregulasi media, maka insisiatif swasta lebih dikonstruksi oleh kepentingan kapital. Meski secara bersamaan, kehadiran media non pemerintah, membawa angina perubahan dalam pilihan informasi. Tetapi tidak dipungkiri, pada awalnya kehadiran media swasta masih berlindung dalam kungkungan kekuasaan, menjadi medium relay dari pusat informasi pemerintah.
Nampaknya keniscayaan akan perubahan lambat laun terjadi, arus pemberitaan yang menampilkan sisi humanistic mulai bermunculan, secara beririsan menganti posisi berita monoton ala TVRI dan RRI yang memang sejatinya adalah pilar kekuasaan Orde Baru, hingga kemudian tersungkur pada saat krisis moneter menstimulasi krisis multidimensi dan berakhir dengan momentum reformasi. Setelah itu, isi media dalam soal teks, konteks dan khalayak menjadi kepentingan pragmatis.
Pada keberlanjutannya, aspek netralitas media adalah sebuah hal yang masih menjadi bahan perdebatan. Hal tersebut dikarenakan, hampir tidak mungkin terdapat keterbebasan media tanpa ada independensi atas "dapur media". Kalaulah kemudian "invisble hand"dalam konteks relasi permintaan dan penawaran yang menjadi pokok dari ekonomi pasar bebas didikte oleh otoritas regulator yang didalamnya terdapat kuasa pemerintah, maka sekurang-kurangnya fungsi media massa menjadi sangat kolaboratif dan kooperatif atas kekuasaan. Situasi ketertundukan politis tersebut, menurut (Boyle, 2013) dinyatakan sebagai situasi menuju jurang kehancuran media.
Manakala media mendapatkan tantangan eksternal yang berada dalam kekuasaan diluar dirinya, untuk berkompromi dengan pemilik kekuasaan, maka secara internal sekalipun terkait dengan relasi khalayak, maka media pun berhadapan dengan kekhawatiran kehilangan serta ditinggal audiens. Situasi ini jelas tidak menguntungkan bagi pengembangan peran media, sebagaimana diungkapkan (Panjaitan & Iqbal, 2006), bahwa kemudian rating menjadi penentu hidup-mati eksistensi media.
Kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, kemudian menyebabkan ketidakampuan media untuk menemukan fakta objektif, realitas kebenaran menjadi sangat dipengaruhi oleh efek ekonomi dari sebuah pemberitaan. Dalam hal itu, maka kemampuan untuk membangun bentuk keterhubungan relasional dengan khalayak secara organik, menjadi sebuah kepentingan yang tidak terelakkan.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah ada aspek organik diluar rating? Solusi dari kungkungan pragmatisme ekonomi media adalah penguatan modal sosial khalayak, membangun proposisi pemberitaan yang berbasis kepentingan publik dari apa yang dirasakan sebagaipublic interest alih-alih isu elitis yang hanya menjadi konsumsi terbatas. Literasi media, tingkat kemelekan media yang partisipatoris dan emansipatif harus diwujudkan secara faktual, menurut (Iriantara, 2017).
Dengan demikian, media massa menjadi batang tubuh yang menyatu serta tidak terpisahkan dalam rahim masyarakat dan bukan sebaliknya hanya menjadi alat kepentingan kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H