Kalut! Perasaan panik dan kepanikan, merupakan ekspresi psikologis atas kecemasan dan ketegangan. Posisi ini bisa dialami oleh semua dari kita dalam situasi yang berbeda-beda. Ketakutan dan kekhawatiran, dalam kondisi kepanikan bercampur menjadi kesatuan. Problemnya, dalam kepanikan kita memang sulit membangun kepercayaan kepada pihak lain. Dengan demikian, fenomena atas terjadinya penjarahan bantuan di daerah bencana, adalah bagian dari bingkai luas kekalutan.
Kejadian tersebut, diperburuk dengan aspek komunikasi pejabat publik yang kerap tidak konsisten, terkait dengan diperbolehkannya mengambil sumberdaya yang tersisa di daerah terkena bencana untuk dapat bertahan hidup dari situasi kesulitan dan kesempitan paska bencana. Tak pelak hal tersebut mengakibatkan hilangnya batas-batas aturan terkait etika, moralitas dan legalitas.
Bukankah dibenarkan dalam kondisi darurat, perlu dilakukan upaya serta tindakan apa saja yang dapat memastikan kemampuan bertahan dari situasi paska bencana? Tentu saja benar, tetapi inkonsistensi komunikasi akan menambah kekisruhan dan masalah baru. Akan menjadi lebih bijak bila parapihak terkait, memberikan instruksi melalui jalur tertutup menggunakan relasi birokrasi pusat-daerah.
Tetapi hal ini sekaligus membuktikan pola koordinasi dan kesiapsiagaan kita atas situasiforce majeure sebagaimana bencana alam masih belum terstruktur dan terorganisir. Perlu ada evaluasi dan perbaikan dikemudian hari, karena kita berada diarea yang dikategorikan sebagai jalur ring of fire dengan kerawanan atas potensi kebencanaan. Kita akan kembali ke pokok tema, tentang panik dan kepanikan.
Memaknai Rasa Panik
Pemahaman atas situasi kepanikan terjadi diberbagai bidang, dengan demikian kita perlu mengenalinya untuk dapat mengatasi dan bersahabat dengan rasa panik, yang merupakan bentuk respon psikologi secara alamiah.Pertama: kepanikan itu bersifat menular. Bayangkan krisis moneter 97-98 ketika gejolak ekonomi terjadi menyebabkan keresahan publik, ditandai dengan rush -penarikan uang dari perbankan, dengan demikian rasa takut, cemas dan kepanikan secara menyeluruh itu memang menular.
Kedua: tidak diperlukan dasar rasional dari sebuah kepanikan. Situasi ini bisa dengan mudah terlihat di bursa saham atau pasar uang. Kerapkali perubahan situasi transaksi terjadi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fundamental yang menjadi dasar utama, tetapi juga oleh persoalan psikologis yakni tingkat ekspektasi pelaku pasar, yang indikatornya kerap sulit untum dikuantifikasi dalam ukuran spesifik.
Lebih jauh lagi, Ketiga: dampak dari tindakan kepanikan kerap tidak terbayangkan sebelumnya. Kalau kita melihat kecenderungan perang dagang Trump dengan Cina yang masih terus berlangsung, sehingga mengakibatkan kondisi demam bagi seluruh dunia, mungkin saja tidak terbayangkan ketika awal Trump mengumumkan penetapan tarif import produk Cina. Kepanikan Trump atas defisit transaksi dagang dengan Cina, justru membuatnya mengambil langkah gegabah yang dianggap manjur menjinakan Cina.
Pada posisi akhir, Keempat: wajah dari kepanikan bisa berbuah kekerasan. Pemaksaan, persekusi, ketakutan akan kehilangan dominasi sumberdaya baik politik maupun ekonomi, tidak jarang pada akhirnya berujung pada pemakaian cara-cara kekerasan. Perebutan dan konflik yang distimulasi dari kekhawatiran akan kehilangan keuntungan dan kenyamanan, menciptakan ketidaknyamanan baru.
Beradaptasi pada Kepanikan
Apakah ada panik yang dapat dimaknai secara positif? Rasanya masih ada. Khususnya kepanikan yang menyebabkan kita melakukan antisipasi. Di era digital kita kerap dihinggapi kekhawatira akan kurang update (fomo-fear of missing out) sehingga melakukan refreshment informasi, tentu ada sisi baik yang didapatkan dari hal tersebut, meski juga ada perlekatan dampak negatifnya.