Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyusuri Rimba Raya Pengetahuan

2 Oktober 2018   05:03 Diperbarui: 2 Oktober 2018   05:14 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu filsafat? Bagaimana relasinya pada ilmu pengetahuan? Demikian tanya sang Profesor. Lalu seisi kelas terdiam dalam keheningan masing-masing. Dan sejurus kemudian Profesor memulai kisahnya. Analogi awal dimulai dari pertanyaan, tentang apa yang terjadi ketika kita berada didalam hutan belantara, tanpa alat bantu dan hendak keluar dari kegelapan? Jawabnya sudah barang tentu tersesat.

Maka dengan demikian, titik mula itu berawal. Pengetahuan adalah sebagai bentuk pengalaman manusia yang terstruktur, distimulasi oleh keinginan untuk dapat memahami realitas. Dan dalam perjalanan upaya pemahaman tersebut, berfilsafat menjadi cara yang ampuh untuk mencari pengetahuan dengan bermula melalui pertanyaan-pertanyaan mendasar.

Kebiasaan bertanya untuk mengungkap apa yang tersembunyi dibalik fakta, telah dimulai sejak abad ke 6 SM, terang si profesor. Filsafat Yunani klasik menampilkan wajah pengetahuan, yang masih terselubung pembungkus metafisika. Ada banyak hal yang masih belum bisa terpecahkan. Lantas pengaruh dunia Islam mengembangkan ilmu berpikir itu, hingga kemudian singgah ke daratan Eropa.

Eropa yang kala itu telah lebih dulu maju dalam dunia fisik kehidupan, mencoba kembali menelusur kerangka berpikir Yunani klasik. Ruang dalam rentang perdebatan pemikiran Plato dan Aristoteles, dipelajari oleh Ibnu Sina kemudian menyebar ditanah Eropa. Pemahaman Plato yang mengedepankan rasionalisme, akan selalu diperbandingkan dengan Aristoteles yang membenarkan empirisme.

Persilangan pikir antara yang nampak secara fisik melalui amatan inderawi yakni empirisme, mencoba menantang prinsip rasionalisme yang menumpukan dirinya pada keberadaan akal serta ide sebagai gagasan utama landasan penggerak kehidupan. Titik silang yang berakar sejak berfilsafat pada era Yunani klasik pun terbawa hingga Eropa. Pun pada abad 14-15 para pemikir Eropa menemui hal serupa.

Pisau Filsafat

Periode ini dikenal sebagai Renaissance merupakan abad kelahiran kembali, dengan tokoh seperti Copernicus, Galileo, Newton. Pada masa ini gelora humanisme dibangkitkan, memaknai keberadaan manusia sebagai individu yang dihargai keberadaannya. Ilmu pengetahuan berkembang, khususnya ilmu alam, dengan bekalan filsafat sebagai pembuka jalan menuju pengetahuan baru.

Keinginan berpikir dan bertanya, membuat Newton yang mengalami kejadian kejatuhan apel membangun rumusan gaya gravitasi. Apa yang seolah merupakan hal keseharian kemudian ditelisik menggunakan pisau filsafat untuk mendapatkan hakikat, lalu kemudian diturunkan kembali dalam bentuk pendekatan kuantitatif sebagai formula. Jeda reflektif menghasilkan waktu pengendapan.

Lalu waktu terus berlanjut, hingga abad 17-18 yang dikenal sebagai periode aufklarung, dimana menjadi era kegairahan atas penerangan serta pencerahan. Dimulai dari tradisi berpikir Jerman, yang ditandai dengan kegundahan Immanuel Kant saatmembaca manuskrip Descartes yang lekat dengan ide rasionalisme, berhadapan dengan literatur David Hume yang condong pada empirisme. Maka Kant kemudian mengambil jalan tengah, transendetalisme tentang kebenaran keduanya.

Alur pemikiran Kant, dikembangkan melalui forma apriori, yakni bahwa subjek yang berpikir itu dapat mengembangkan dan menata pemikirannya secara apriori, terdapat internal motif secara inheren didalam dirinya yang menggerakkan. Prinsip utamanya adalah kuantitas, kualitas, relasi dan modalitas. Kemudian hal tersebut dipadukan dengan upaya untuk menemukan hukum alam, dengan cara berpikir baik induktif maupun deduktif.

Bersamaan dengan abad tersebut, kerangka berpikir kritis merebak bersamaan dengan kehadiran Karl Marx yang mencoba menyingkap akar persoalan sosial ekonomi, mencari jawaban atas fenomena kemiskinan kelompok pekerja. Basis struktur kehidupan, menurut Marx ditopang oleh mesin ekonkmi yang menentukan corak struktur kehidupan disetiap periode sejarah. Metode dialektik dipergunakan.

Upaya ini dikenal sebagai sosial kritis, dimana para pemikir padaperiode tersebut berupaya untuk mencari akar persoalan serta solusi atas krisis, dengan menyusun jalan keluar melalui tindakan dekonstruksi yang membongkar selubung kepentingan perilaku, khususnya melalui Frankfurt School. Metodenya menggunakan diskursus, forum diskusi dengan saling bertanya dan mencari jawab.

Epilog Perlintasan Ilmu

Hingga kemudian sampailah kepada Habermas, di era yang lebih modern, dengan menyimpulkan tentang kelompok besar ilmu pengetahuan, yakni; empiris analitik atau ilmu alam, historis hermeneutik disebut ilmu budaya dan berakhir pada sosial kritis alias ilmu kritis. Bahwa pada ilmu alam, mencoba mencari noumena dibalik fenomena, gejala alamiah dalam penemuan hukum alam.

Sedangkan pada ilmu budaya, bahasan dalam telaahnya adalah manusia beserta makna perilaku. Dengan demikian dilekatkan pada interpretif, memahami untuk meperkaya pemahaman. Di fase terminal, ilmu kritis akan membawa upaya reflektif pengendapan melalui metanosis, sebuah upaya untuk merespon kritik yang menunjukan kelemahan serta kekurangan, hingga mencapai jalan keluar.

Tidakkah kita hari ini kurang menempatkan waktu bagi upaya reflektif? Pungkas sang Profesor. Apakah ada keistimewaan untuk mempelajari literatur dan berpikir? Tanyanya lebih lanjut. Kita hari-hari ini adalah susunan aksi-reaksi, balas-membalas, bukankah dikarenakan kelemahan berpikir? Cecar Profesor. Lalu kelas kembali hening, larut dalam lamunan sembari menunggu berlalunya sang waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun