Riuh istilah emak-emak yang kini semakin populer, mendapatkankan tanggapan beragam. Sebagian pihak melihat hal tersebut adalah bentuk peralihan dari perubahan peran, dari sekedar ketertarikan menuju pada keterlibatan.Â
Sementara, sebagian pihak kemudian memandang frasa emak-emak sebagai bentuk degradasi nilai dari figur ibu, simbol tersebut dianggap hanya menjadikan posisi kaum perempuan sebagai sarana kampanye semata.
Proses komodifikasi perempuan, menurut sebagian kalangan, masih jauh dari pembahasan atas sentimen serta isu-isu yang terkait hak-hak perempuan itu sendiri. Benarkah demikian? Bagaimana memahami saling silang pendapat ini?Â
Adakah agenda yang sama dalam derajat kepentingan, antara emak-emak berdaster dengan isu domestik rumah tangga, disisi lain ada pula suara dari aspirasi ibu bangsa, yang berbicara tentang hakikat kemerdekaan kaum perempuan secara emansipatoris?
Sudut pandangnya, ditentukan dan akan sangat tergantung pada bagaimana kita mempersepsikan diksi tentang emak-emak itu sendiri. Adakah definisi tersebut yang berintonasi merendahkan posisi dan kedudukannya, sehingga menjadi tidak sama dengan istilah mama, ibu, bunda, nyai, serta berbagai penyebutan lainnya? Perlu pernyataan yang tegas tentunya tentang hal tersebut.
Bahkan pemahaman yang sama mengenai hal ini, dalam kelompok perempuan, mungkin saja bisa berbeda. Lalu mengapa persoalan partisipasi politik dengan kreativitas pengistilahan emak-emak itu, seolah menjadi sentral topik diskusi?Â
Tentu harapan terbesarnya adalah mampu mengeliminasi keterpinggiran kaum perempuan dikancah politik, menjadi aktor perubahan yang diarusutamakan.
Representasi kandidat caleg yang diwajibkan sejumlah 30%, sudah dijalankan. Tetapi prinsip keterwakilan dalam aspek keterpilihan perempuan, baru menyentuh 19.5% saja dari wajah anggota legislatif.Â
Lantas lebih jauh lagi, porsi keberadaan perempuan dilembaga politik belum banyak mendapatkan kajian, terutama tentang peran dominan, seperti sebagai ketua-ketua lembaga, fraksi, bahkan komisi-komisi.
Dengan demikian, memahamkan frame tentang emak-emak seharusnya menjadi terminologi yang positif, sebagai ikhtiar aktif partisipasi politik. Bukankah saat ini keterlibatannya, dalam pandangan sebagian kelompok aktivis perempuan, hanya bersifat sebagai pelengkap penderita saja? Hanya menjadi objek dan bukan subjek dari sebuah proses politik yang dinamis?
Sesungguhnya pandangan skeptikal sedemikian, yang menjadi barrier penghambat perempuan untuk masuk ke gelanggang politik. Setidaknya ada tahapan pendahuluan dalam fase partisipatoris, untuk menjadi lebih sensitif akan persoalan politik.