Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mungkinkah Homo Sapiens Bermimpi Homo Deus?

18 September 2018   01:28 Diperbarui: 18 September 2018   01:32 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kontroversial! Buku Yuval Noah Hariri tentang Homo Sapiens dan Homo Deus memang menjadi menarik untuk dibahas, khususnya terkait dengan pertanyaan judul diatas.

Keberadaan buku ini tidak lepas dengan sendirinya, bisa jadi merupakan penelitian Hariri melalui berbagai penelusuran pustaka, karena basisnya memang ilmu sejarah. Dan pada kesejarahan dimasa lalu, kita bisa menempatkan sejuta interpretasi yang mungkin berbeda dengan apa yang sesungguhnya terjadi.

Menikmati uraian bercerita, tentang sejarah manusia, buku Homo Sapiens memberikan ilustrasi menarik bila manusia dari kelompok Sapiens, yang modern dan mampu berpikir serta memiliki kecerdasan ini mengalami berbagai proses perubahan dalam fase kehidupan awal, hingga hari ini.

Proses gerak perubahan itu, tipikal dengan sejarah yang kita pernah pahami dalam pola kehidupan nenek moyang kita, mulai sejak jaman tribal manusia pemburu hingga mampu melakukan domestifikasi binatang dan tetumbuhan sebagai corak produksi agraris, hingga terus berkembang selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan sampailah kita pada hari ini.

Apa yang disampaikan Hariri, tipikal dengan apa yang coba diulas Marx melalui mode of production stage, bahwa tahapan siklus kehidupan disandarkan kolektif manusia berjalan seiring atas kemampuan produksinya.

Pada ulasannya kemudian Marx menempatkan proses alienasi kerja dan akumulasi kapital sebagai perilaku dari struktur sosial politik kekuasaan, sementara Hariri menempatkan konsepsi gerak masyarakat tersebut jauh lebih abstrak, memunculkan naluri manusia untuk mendomestifikasi dirinya sendiri dan sekaligus berproses menjadi tidak terkendali sebagai penguasa segalanya.

Pendekatan saintifik dipergunakan secara positivistik, hukum kausalitas menjadi dasar asumsi yang tidak bisa dicegah. Membaca Hariri, kita dibawa kedalam ruang panjang pertanyaan Socrates tentang siapa saya?.

Persoalan ini jelas mengandung banyak konsekuensi turunan, darimana asal saya? Mengapa saya hidup? Apa esensi kelahiran? Lantas bagaimana substansi kematian? Kemana sesudah proses kematian itu dilalui?.

Akar filsafat, yang memulai dengan pertanyaan serta diakhiri pula dengan menyisakan pertanyaan, memang selalu menggoda manusia. Pada titik tertentu, persinggungannya dengan aspek teologis tidak terhindarkan.

Manusia memang selalu menempatkan akal sebagai penguasa tunggal, dan tidak ada tempat dalam pendekatan saintifik yang terjadi tanpa pengalaman empirik secara material. Diluar itu, hanyalah fiksi belaka.

Benarkah demikian? Bukankah eksperimentasi Marx tentang kehidupan komunal modern dalam tatalaku politik pun akhirnya kandas dan tidak laku? Mungkinkah aspek liberalisme Hariri dalam wilayah yang berbeda mendapatkan pembenaran?.

Benteng Ketidaktahuan

Bagaimanapun, bangunan struktur pemikiran Hariri menjadi sangat liar pada buku Homo Deus, cerita tentang wilayah ketidaktahuan manusia yang berbungkus mistik, mulai bersinggungan dengan teritori teologis.

Pemahaman Hariri, agaknya mirip seperti Galileo yang mencoba menempatkan Heliosentris sebagai konsep dasar menggugat skema Ptolomeus dengan Geosentris yang telah lebih dulu diakui pihak agamawan. Tapi kita perlu bertanya, benarkah ramalan Hariri sesuai dengan kekuatan kajian Galileo yang sangat empirik melalui alat uji teleskop?.

Perilaku buruk dari praktik keagamaan dimasa lalu tentang jual-beli penghapusan dosa, kemudian semakin menandaskan, kebenaran versi Hariri, tentang wujud agama sebagai bentuk kamuflase atas ketidaktahuan. Keberdosaan Adam dan Hawa adalah simbolisasi dari upaya mendapatkan pengetahuan yang sebelumnya selalu dibatasi.

Sejalan dengan kemajuan teknologi, Hariri mencoba menempatkan situasi keagamaan dalam tantangan sains. Kemampuan pencapaian sains adalah ancaman atas moral keyakinan teologis. Artefak sejarah mencoba ditafsir Hariri dalam runutan rasio yang membenarkan bahwa kuasa manusia adalah segalanya dan terutama, bahkan agama adalah bentuk campur tangan manusia dalam memutus ketidaktahuan dengan asumsi Illahiah.

Agaknya Hariri mungkin perlu bersabar hingga waktu yang tidak ditentukan untuk melihat fase kesempurnaan umat manusia yang kemudian beralih menjadi pencipta, seperti yang diungkapnya melalui Homo Deus. Bahwa pada hakikatnya, manusia menyukai bermain sebagai kuasa atas segala kuasa, para Raja dan Firaun membuktikan hal tersebut.

Sesungguhnya, apa yang Hariri tuliskan dalam penelitiannya, mencoba menarik korelasi antara Darwinisme pada kerangka evolusi manusia, Marxisme untuk perkembangan corak produksi dan determinisme teknologi serta ilmu pengetahuan sebagai laku absolut dimasa depan. Sebuah prediksi yang harusnya ditempatkan hanya sebagai upaya refreshment gagasan berpikir semata, tidak lebih sekedar hal tersebut.

Mungkinkah manusia menjadi tuhan? Manusia sangat mungkin playing god, dalam makna ketamakan, bahkan menuhankan materialisme, menempatkan akal diatas segalanya. Pada setiap.kasus menjelang kematian, setiap manusia justru kembali dalam kegelapan pertanyaan hendak kemana?.

Keberimanan, adalah tentang kepercayaan akan hal-hal yang immaterial. Bahwa ada banyak pihak yang menolak kisah-kisah agama dimasa kini, itu jelas urusan yang berbeda.

Kembali pada pertanyaan Socrates diawal tentang siapa saya? Akhirnya kita kembali pada jawaban akan kesadaran sebagaimana akhirnya Socrates menyimpulkan jika, saya tahu bahwa saya tidak mengetahui segala sesuatu.

Dalam keberagamaan, ada moralitas dan keluhuran, ruang kehidupan yang misteri itu tidak pernah membawa pengetahuan sampai pada kemampuan untuk menguak persoalan hakikat asali, bahwa sesungguhnya dalam keteraturan kosmik alam semesta ada kuasa Illahi yang berkuasa. Setidaknya saya mempercayai hal tersebut!.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun