Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mungkinkah Homo Sapiens Bermimpi Homo Deus?

18 September 2018   01:28 Diperbarui: 18 September 2018   01:32 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Benteng Ketidaktahuan

Bagaimanapun, bangunan struktur pemikiran Hariri menjadi sangat liar pada buku Homo Deus, cerita tentang wilayah ketidaktahuan manusia yang berbungkus mistik, mulai bersinggungan dengan teritori teologis.

Pemahaman Hariri, agaknya mirip seperti Galileo yang mencoba menempatkan Heliosentris sebagai konsep dasar menggugat skema Ptolomeus dengan Geosentris yang telah lebih dulu diakui pihak agamawan. Tapi kita perlu bertanya, benarkah ramalan Hariri sesuai dengan kekuatan kajian Galileo yang sangat empirik melalui alat uji teleskop?.

Perilaku buruk dari praktik keagamaan dimasa lalu tentang jual-beli penghapusan dosa, kemudian semakin menandaskan, kebenaran versi Hariri, tentang wujud agama sebagai bentuk kamuflase atas ketidaktahuan. Keberdosaan Adam dan Hawa adalah simbolisasi dari upaya mendapatkan pengetahuan yang sebelumnya selalu dibatasi.

Sejalan dengan kemajuan teknologi, Hariri mencoba menempatkan situasi keagamaan dalam tantangan sains. Kemampuan pencapaian sains adalah ancaman atas moral keyakinan teologis. Artefak sejarah mencoba ditafsir Hariri dalam runutan rasio yang membenarkan bahwa kuasa manusia adalah segalanya dan terutama, bahkan agama adalah bentuk campur tangan manusia dalam memutus ketidaktahuan dengan asumsi Illahiah.

Agaknya Hariri mungkin perlu bersabar hingga waktu yang tidak ditentukan untuk melihat fase kesempurnaan umat manusia yang kemudian beralih menjadi pencipta, seperti yang diungkapnya melalui Homo Deus. Bahwa pada hakikatnya, manusia menyukai bermain sebagai kuasa atas segala kuasa, para Raja dan Firaun membuktikan hal tersebut.

Sesungguhnya, apa yang Hariri tuliskan dalam penelitiannya, mencoba menarik korelasi antara Darwinisme pada kerangka evolusi manusia, Marxisme untuk perkembangan corak produksi dan determinisme teknologi serta ilmu pengetahuan sebagai laku absolut dimasa depan. Sebuah prediksi yang harusnya ditempatkan hanya sebagai upaya refreshment gagasan berpikir semata, tidak lebih sekedar hal tersebut.

Mungkinkah manusia menjadi tuhan? Manusia sangat mungkin playing god, dalam makna ketamakan, bahkan menuhankan materialisme, menempatkan akal diatas segalanya. Pada setiap.kasus menjelang kematian, setiap manusia justru kembali dalam kegelapan pertanyaan hendak kemana?.

Keberimanan, adalah tentang kepercayaan akan hal-hal yang immaterial. Bahwa ada banyak pihak yang menolak kisah-kisah agama dimasa kini, itu jelas urusan yang berbeda.

Kembali pada pertanyaan Socrates diawal tentang siapa saya? Akhirnya kita kembali pada jawaban akan kesadaran sebagaimana akhirnya Socrates menyimpulkan jika, saya tahu bahwa saya tidak mengetahui segala sesuatu.

Dalam keberagamaan, ada moralitas dan keluhuran, ruang kehidupan yang misteri itu tidak pernah membawa pengetahuan sampai pada kemampuan untuk menguak persoalan hakikat asali, bahwa sesungguhnya dalam keteraturan kosmik alam semesta ada kuasa Illahi yang berkuasa. Setidaknya saya mempercayai hal tersebut!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun