MENARIK! Tulisan pakar manajemen, professor dan guru besar perguruan tinggi ternama itu muncul dalam rubrik kolom pada portal berita. Kita semua mengenal beliau, bahkan saya selalu rajin mengkoleksi buku Shifting yang menarik karyanya. Pada kolom tersebut, sang professor mencoba melihat fenomena disekitar kita, terkait keluhan dan karakteristik individu.
Lebih jauh lagi, sesuai dengan bidang kepakaran beliau, maka kita akan masuk keruang diskusi tentang leadership serta paradoks kekayaan juga kemiskinan. Tentu menambah wawasan, gaya tulisan yang mengalir itu adalah ciri khasnya. Tetapi sebagai penikmat hasil karyanya, maka ijinkan saya memberi ulasan tafsir yang mungkin berbeda.
Secara sadar saya hendak bicara, bahwa meski dalam keterbatasan akademik serta kapasitas pribadi dibandingkan beliau, tetapi di alam demokrasi setiap insan memiliki hak yang setara, dan itu pula yang menurut Habermas disebut sebagai ruang publik untuk berkomunikasi secara dialogis, seimbang dan setara yang menjamin kepastian serta menjaga kebebasan sebagai ruang gerak demokrasi.
Tulisan sang professor tentu tidak bisa dilepaskan dari situasi yang berkembang, dan hakikat keilmuan memang mencoba menjadi pengamat dari kondisi dinamis yang melingkupinya. Teks yang disusun melalui pendekatan berpikir yang dibangun, tidaklah lepas dari konteks yang ada. Apa itu? Terdapat aspek moralitas dan unsur politis pada naskah tersebut, bisa saja terkait tahun politik.
Persoalan dukung mendukung dan menjadi partisan, adalah hak yang juga diakui keabsahannya bagi setiap individu, jadi tidak ada yang terlalu istimewa. Problemnya kita ada dalam wilayah kontestasi yang memang miskin pilihan, hanya terdapat dua pasang kandidat. Kemiskinan alternatif atas calon pemimpin, adalah bentuk kemiskinan demokrasi bersama diruang politik kita hari ini.
Kebebasan dan demokrasi pasca reformasi belum seutuhnya memberi solusi pamungkas, karena memang proses politik, sosial, ekonomi dan budaya membutuhkan waktu. Disini peran kitalah yang menjadi penentu atas proses tersebut, semakin cerdas kita secara kolektif, maka akan terjadi percepatan dalam upaya pencapaian tujuan bersama.
Lalu bagaimana memahami narasi sang professor dalam ulasannya? Tendensi tentang pemimpin yang hanya menjadi tampilan simbolik, tanpa makna yang mencengkram kuat dari pengalaman keseharian atas fenomena kemiskinan, sudah pasti akan miskin dalam memberikan sentuhan dan rasa ketika berbicara tentang hal tersebut. Mudah saja mengkorelasikan hal itu dalam opsi sempit dari kontestasi politik hari ini, Anda pasti paham maksud dari struktur tulisan tersebut berekecenderungan tertentu.
Tapi sekali lagi, hal itu tentu sah-sah saja, ilmuwan memiliki kompetensi yang cukup untuk dapat berbicara tentang hal tersebut berdasarkan basis kepakaran yang dimilikinya. Tapi kita harus mampu melihat realitas yang menjejak bumi. Ditahun politik pasti akan lebih didominasi oleh gemuruh dan gegap gempita kampanye, dan pesan yang akan disampaikan dalam kontestasi harus dikemas dalam tematik yang menyentuh pada persoalan fundamental publik.
Merakyat dalam Kebijakan
Pihak yang akan menjadi hakim dan penentu adalah rakyat pemilih. Figur dan aktor politik dalam kontestasi politik akan melakukan komunikasi pesan pada target audience dengan berbagai cara, dan hal itu bisa jadi dengan model mengatasnamakan publik, karena mereka ingin tampak menjadi bagian yang teridentifikasi atas keresahan di masyarakat -plain folks. Jadi keluh kesah yang hendak ditangkap sebagai aspirasi publik dilekatkan pada dirinya, sebagai sebuah bagian dari teknik propaganda tentu wajar saja.
Dalam pemaknaan pribadi, masyarakat telah beradaptasi dan memiliki kecerdasan sendiri akan situasi politik dan ekonomi yang dihadapi. Pengalaman pasca reformasi dan perubahan sistem politik kita menciptakan ruang bernalar publik. Dengan demikian, publik tidak bisa diartikan sebagai kertas kosong yang pasif, kini mereka sangat aktif bahkan sudah cerdas.
Kita tentu paham bila sosok tokoh dan aktor politik kemudian akan terjun ke masyarakat dan memposisikan diri sejajar dengan -wong cilik adalah upaya untuk memahami serta menguatkan sisi emosional akan perasaan sepenanggungan. Problemnya, yang tidak kita pahami adalah kebijakan politiknya yang diambil kemudian hari, justru berhadapan dengan kepentingan mereka yang hari ini seolah hendak dibela. Kita tidak sedang berbicara siapa, tetapi realita itu hadir secara nyata dan berlaku bagi siapa saja baik oposisi maupun penguasa.
Penyampaian keluh kesah adalah sebuah normalitas dalam komparasi. Kita akan lebih sulit dibandingkan mereka yang lebih mapan dan diatas kita, serta secara bersamaan kita bersyukur karena masih banyak pihak yang jauh lebih susah dibandingkan apa yang kita alami. Pembangunan kesadaran reflektif menjadi penting, agar kita tidak kehilangan semangat serta harapan, lalu jatuh pada keluh kesah yang tidak berkesudahan.
Ekspektasi dalam harapan itu kini tersentral pada figur yang hadir dalam kontestasi politik kita, publik berhak menjatuhkan pilihan atas dasar terentu, atau bahkan tanpa alasan sekalipun. Siapapun yang terpilih nantinya, akan memiliki tugas dan tanggungjawab yang mahaberat untuk memastikan jawaban atas keluh kesah sekaligus membangun harapan pada tumpuan pundaknya. Pastikan pilihan politik melalui kesadaran akan tujuan besar bersama.
Pahami latar belakang, program kerja dan sistem yang hendak dibangun dalam janji kampanye. Pemimpin bukan semata individu personal, melainkan sistem dan bangunan politik disekitarnya. Seorang pemimpin memiliki ruang kebijakan dan kebajikan, didukung oleh struktur disekelingnya, maka pastikan tidak hanya soal tokoh yang tampil kemuka, tetapi para influencer dibelakangnya.
Sekalilagi penentu serta kuasanya ada ditangan Anda!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H