Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

BPJS Kesehatan dalam Tinjauan Filsafat

28 Agustus 2018   10:27 Diperbarui: 28 Agustus 2018   10:43 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemikiran kita kemudian melayang jauh kemasa perkembangan ilmu kedokteran, hingga rentang sejarahnya hingga hari ini. Hal ini tentu penting, karena memang manusia selalu mendasarkan dirinya pada rasa ingin tahu yang kemudian menciptakan pengetahuan.

Sejatinya, sistem pelayanan kesehatan tidak ubahnya bak pendulum yang bergerak diantara makna public goods dan private goods, dimana hal itu akan sangat terkait dengan bentuk layanan yang dilaksanakan. 

Pada public goods pelayanan kesehatan akan bersifat meluas, khususnya pada layanan dasar seperti imunisasi dan sanitasi. Sementara itu, disisi private goods akan berkaitan dengan pelayanan tingkat lanjut seperti pembedahan, operasi dan rawatan inap yang berimbal biaya.

Realitas dari situasi seperti ini terjadi, kita tentu tidak bisa kembali dari kehidupan saat ini untuk balik ke masa lalu, karena kesehatan kini menjadi bagian dari sektor industry yang raksasa. Mulai dari perguruan tinggi pencetak dokter, asuransi, farmasi, laboratorium hingga jasa layanan rumah sakit telah menjadikannya sebagai komoditi transaksional.

Pemahaman komodifikasi, sebagai proses transformasi barang dan jasa karena nilai guna menjadi komoditas yang memiliki nilai keuntungan, melalui pengorganisasian pada proses pertukaran adalah gerak laku dari dunia kesehatan modern. Pertanyaan yang menjadi susulan, lantas mengapa hal itu terjadi?.

BPJS Kesehatan sebagai program nasional hendak mengintegrasikan sekurangnya 250 jiwa penduduk ditingkat nasional, sementara kapasitas layanan yang dapat disediakan negara tidak utuh, sebagian diantaranya dikontribusikan oleh pihak institusi pelayanan kesehatan swasta, yakni sebanyak 48% diantaranya. Dengan demikian, partisipasi swasta memang berbeda dari kehadiran pemberi layanan milik negara, karena konsepsi keberadaan swasta memang self sustain -membiayai dirinya sendiri dengan prinsip ekonomi.

Jika kemudian pendekatan Adam Smith dipergunakan, maka tata laku ekonomi dibebaskan pada ketentuan invisible hand sesuai dengan hukum pasar atas permintaan serta penawaran, hal ini jelas mengakibatkan minimalnya peran negara, meski kemudian situasi ini akan juga berhadapan dengan konsep moralitas publik yang sejatinya merupakan friendly society -masyarakat bersahabat.

Jadi, BPJS Kesehatan merupakan intervensi negara diluar invisible hand, tidak terlepas dari aspek kebijakan politik yang populer, dalam kerangka membangun ruang keterpilihan bagi proses politik domestik. Lanjutan pertanyaannya mengapa demikian? Kita akan coba terangkan ditahap kemudian.

Angka dalam Tafsir Sosial

Kemampuan pemerintahan dalam melakukan pengelolaan urusan publik akan terkait dengan angka-angka, menjadi indikator keberhasilan maupun kegagalan. Selaras dengan itu, terlihat bagaimana kekuasaan mempergunakan pengukuran berbasis nilai numerik sebagai sebuah kesuksesan.

Prestasi pemerintahan persis tertuang dalam tampilan jumlah kemiskinan, pengangguran hingga bertambahnya kepesertaan BPJS Kesehatan yang dikategorikan sebagai goverment budget for social spending.

Tentu kita pahamkan apa yang sebut Boudrillard, bahwa angka-angka tidak berbicara pada dirinya sendiri, dan tidak pernah mengingkari kata-katanya, ruang tafsir terkadang sesuai kepentingan kuasa sehingga menyebabkan terjadinya pertentangan angka-angka. Dengan begitu, kita harusnya mampu melihat ini dalam kacamata yang lebih jernih dalam konteks realitas saat ini.

Publik merasa dibatasi, operator lapangan dalam hal ini tenaga dan institusi kesehatan seolah dikebiri kemampuan layanannya, lalu pemegang program kerja yakni BPJS dalam situasi defisit layaknya kapal reatk yang hendak karam, sedangkan disisi yang bersamaan pemerintah melakukan klaim keberhasilan. Adakah yang salah dalam kesimpulan tersebut?.

Kondisi itu, dalam interaksi antara elemen sosial dapat berujung pada proses disasosiatif yang muncul sebagai konflik. Pada pertentangan yang menghebat, maka dibutuhkan sumberdaya yang tidak sedikit untuk dapat mencapai resolusi sebagai titik kompromi. Mungkinkah jalan tengah ditempuh?.

Bila kemudian pengambilan kebijakan publik, mengadopsi pertimbangan atas opini publik yang terbentuk maka harusnya ruang pembentukan resolusi terjadi, karena keberadaan opini publik tidak hanya dapat memperkuat posisi suatu kebijakan tetapi sekaligus menentukan kepercayaan atas lembaga sosial, dan secara bersamaan bila terkelola dengan baik akan mampu meningkatkan citra dari suatu lembaga sosial yang terasosiasi atas kebijakan publik yang diambil tersebut.

Sedemikian pragmatiskah kebijakan publik berhadapan dengan opini dan kebutuhan mencari citra? Bisa jadi dan sangat mungkin sedemikian!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun