Tentu kita pahamkan apa yang sebut Boudrillard, bahwa angka-angka tidak berbicara pada dirinya sendiri, dan tidak pernah mengingkari kata-katanya, ruang tafsir terkadang sesuai kepentingan kuasa sehingga menyebabkan terjadinya pertentangan angka-angka. Dengan begitu, kita harusnya mampu melihat ini dalam kacamata yang lebih jernih dalam konteks realitas saat ini.
Publik merasa dibatasi, operator lapangan dalam hal ini tenaga dan institusi kesehatan seolah dikebiri kemampuan layanannya, lalu pemegang program kerja yakni BPJS dalam situasi defisit layaknya kapal reatk yang hendak karam, sedangkan disisi yang bersamaan pemerintah melakukan klaim keberhasilan. Adakah yang salah dalam kesimpulan tersebut?.
Kondisi itu, dalam interaksi antara elemen sosial dapat berujung pada proses disasosiatif yang muncul sebagai konflik. Pada pertentangan yang menghebat, maka dibutuhkan sumberdaya yang tidak sedikit untuk dapat mencapai resolusi sebagai titik kompromi. Mungkinkah jalan tengah ditempuh?.
Bila kemudian pengambilan kebijakan publik, mengadopsi pertimbangan atas opini publik yang terbentuk maka harusnya ruang pembentukan resolusi terjadi, karena keberadaan opini publik tidak hanya dapat memperkuat posisi suatu kebijakan tetapi sekaligus menentukan kepercayaan atas lembaga sosial, dan secara bersamaan bila terkelola dengan baik akan mampu meningkatkan citra dari suatu lembaga sosial yang terasosiasi atas kebijakan publik yang diambil tersebut.
Sedemikian pragmatiskah kebijakan publik berhadapan dengan opini dan kebutuhan mencari citra? Bisa jadi dan sangat mungkin sedemikian!.