Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Teks dan Konteks Pidato Kemerdekaan Era Jokowi

20 Agustus 2018   21:12 Diperbarui: 20 Agustus 2018   21:29 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pembacaan ini tidak hendak ditempatkan dalam persoalan dukung-mendukung politik bagi proses Pilpres 2019, melainkan berupa memberikan pemahaman akan perubahan-perubahan yang terjadi melalui teks pidato kemerdekaan RI, dalam periode kepemimpinan Jokowi.

Tentu situasi sosial politik yang melingkupi sebuah pidato kenegaraan, menjadi faktor yang tidak dapat dipisahkan, mengingat amanat dalam pesan yang hendak disampaikan melalui pidato tersebut merupakan upaya merespon perkembangan kondisi secara aktual. Meski pidato formal tersebut dibawakan Presiden Jokowi dalam forum dihadapan ruang sidang MPR/ DPR, namun paparan informasi akibat pemberitaan di media massa baik cetak, elektronik maupun online membuat publik terekspose.

Kita perlu melihat pada awal pidato pelantikan Jokowi-JK yang terpilih paska proses Pilpres 2014, dengan kehadiran dua poros koalisi yakni Koalisi Indonesia Hebat-pengusung Jokowi dan Koalisi Merah Putih-pendukung Prabowo, maka teks yang pelantikan memberi titik tekan pada upaya melanjutkan ujian sejarah dalam membangun persatuan mencapai kemerdekaan melalui kerja keras.

Frase yang banyak dipergunakan saat itu adalah tentang kerjasama, gotong royong serta bergerak bersama, dengan memperkenalkan slogan; kerja, kerja, kerja. Didalam pidato tersebut, Jokowi juga berbicara tentang kemaritiman yang selama ini selalu dipunggungi sebagai visi pemerintahan, bahkan bertamsil bila kehidupan kenegaraan ibarat kapal yang mengarungi lautan dengan hempasan gelombang dan ombak bergulung, dan sebagai nahkoda maka Presiden mengajak serta seluruh elemen bangsa untuk bersama menuju Indonesia Raya.

Rekonsiliasi Koalisi

Lantas, pada periode pemerintahan pertamanya, Jokowi terlepas dari kemelut KIH dan KMP setelah islah dengan melakukan negosiasi kedudukan pimpinan lembaga serta alat kelengkapan dewan. Situasinya, Jokowi dari pihak KIH terpilih sebagai Presiden tetapi kubu KMP menguasai parlemen, sehingga proses alot cenderung deadlock terjadi dan fase kompromi kekuasaan dalam komunikasi elit terjadi, hingga berujung damai antara parapihak.

Pada kesempatan pidato kenegaraan HUT ke-70 tersebut, Jokowi kembali mengulang tentang persatuan sebagai kalimat awal pembuka, dilanjutkan dengan uraia  kekayaan atas keragaman bangsa sebagai modalitas untuk kemajuan. Termasuk perihal bonus demografi yang dimiliki, lebih jauh Jokowi menyoroti tentang lunturnya budaya luhur, soal saling menghargai hingga kesantunan politik.

Jokowi memulai menekankan soal pengelolaan desa dan pembangunan infrastruktur. Program elektrifikasi,bahkan isu tentang ketertinggalan Indonesia Timur khususnya Papua mendapat ruang khusus dalam pidato kali itu.  Bersamaan dengan itu, tema korupsi dan penegakan hukum pun mendapatkan perhatian.

Dipenghujung pidatonya, disampaikan terima kasih atas optimisme publik dalam mendukung transformasi fundamental perekonomian nasional. Kutipan Bung Karno dipergunakan dalam menuntaskan pidato tentang gagasan "...bahwa tujuan bernegara untuk seribu windu lamanya, bernegara buat selama-lamanya".

Pertambahan Barisan Koalisi Pemerintah

Selanjutnya, pada pidato HUT ke-71, Jokowi masih menyambungkan ide tentang transformasi fundamental sebelumnya, dengan mulai menyebut tantangan global. Termasuk implikasi persoalan internasional akan terorisme. Jokowi juga berbicara tentang paradigma pembangunan yang diharapkan berubah, dari bersifat konsumtif menjadi produktif, serta berorientasi Jawa Sentris menjadi Indonesia Sentris.

Di periode pidato kali itu, Jokowi melakukan penjabaran program kerja secara terstruktur, terkait langkah terobosan dalam mengentaskan kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan kesenjangan sosial. Lalu disambung dengan langkah gerak yang dilakukan, yakni: pertama; percepatan pembangunan infrastruktur. Kedua; penyiapan kapasitas produktif dan Sumber Daya Manusia. Ketiga, deregulasi dan debirokratisasi.

Selanjutnya, Jokowi menyebut upaya perbaikan kondisi serta akses sosial kualitas pembangunan di sektor kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial. Serta disinggung pula tentang reformasi hukum, manajemen anggaran, dan politik luar negeri termasuk aspek domestik seperti demokrasi, politik dan keamanan. Istilah Revolusi Mental dikemukakan,  dimaknai sebagai perubahan pola pikir dan perubahan sistem pemerintahan.

Situasi tersebut, dilatarbelakangi dan bersamaan dengan proses reshuffle kabinet Jokowi untuk mendapatkan formula yang lebih sesuai dengan gerak kerja Presiden, sekaligus mengakomodir pertambahan anggota koalisi pemerintah, dimana PAN, PPP dan Golkar berlabuh dan mulai mendapatkan konsesi jabatan menteri. Koalisi yang semakin gemuk, jelas terkait kompromi.

Konstelasi Paska Pilkada DKI

Berbeda dari pidato sebelumnya, pada kesempatan HUT ke-72, Jokowi menyapa dalam setiap batas paragrap kalimat menggunakan bahasa daerah. Seolah hendak sinkron dengan kalimat pembuka pidato, yang mengkalkulasi jumlah penduduk dan kepulauan kita. Titik tekan kemudian berpindah, terkait dengan mentalitas negatif yang harus direduksi.

Perubahan ditingkat dunia, singgung Jokowi harus direspon dengan cepat, karena itu pula kita harus mampu berubah. Aspek ideologi Pancasila diharapkan menjadi pemersatu kita. Arah dari proyeksi kerja pemerintah berfokus pada pemerataan ekonomi yang berkeadilan, dengan menyebut mewakili kepentingan 40 persen terbawah (-baca: miskin).

Situasi yang melingkupi saat itu adalah hasil Pilkada serentak, dengan Pilkada DKI yang menjadi sorotan utama. Posisi yang ditinggalkan Jokowi tidak berhasil diteruskan oleh Ahok, sebagai buntut dari "keseleo" lidah Ahok atas Al Maidah 51. Dibagian akhir, Jokowi memberi pesan terkait hal tersebut, tentang demokrasi serta stabilitas politik dan keamanan guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta membangun kerukunan dalam keragaman.

Indikator Keberhasilan Kerja

Penuh angka, demikian isi pidato Jokowi pada HUT ke-73. Indikator angka dimunculkan sebagai pilihan Presiden untuk berbicara tentang keberhasilan pembangunan yang telah dicapai. Kondisi ini berbeda dari pidato-pidato terdahulu yang lebih sedikit menampatkan angka sebagai pelengkap kuantitatif. Kali ini, pidato kemerdekaan lebih bersisi matematis, selain lebih panjang dari biasanya.

Upaya penegakan hukum, dengan pemberantasan jeratan korupsi ditampilkan melalui jumlah OTT. Termasuk menyampaikan kerja dalam menjaga kekayaan alam, serta berdaulat atas sumber daya alam dengan menyebut beberapa kelolaan blok migas kembali ke tanah air, termasuk Freeport.

Sesuai kebiasaan paparan pidato Presiden, maka pelibatan angka-angka biasanya dipergunakan dalam laporan nota keuangan dan RAPBN. Jokowi, lebih banyak berfokus pada paparan ekonomi, termasuk berbicara tentang makro ekonomi dengan upaya meningkatkan kualitas pertumbuhan, serta menyiapkan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan dalam jangka panjang.

Persoalan pembangunan manusia dengan karakter yang kuat, ber-akhlakul karimah, Jokowi menyebut peran penting pendidikan. Dibagian akhir penutup, Jokowi berpesan tentang kebersamaan dalam pencapaian kerja-kerja besar yang menjadi doa bersama kita, sebagai bentuk ibadah seluruh rakyat negeri dalam mencapai prestasi bangsa, sekaligus menghadirkan keadilan sosial.

Batas situasi yang terjadi saat itu, adalah posisi Jokowi yang kembali mencalonkan diri untuk terlibat dalam kontestasi Pilpres 2019, dengan demikian teks dalam konteks Jokowi memang ditujukan untuk memberikan persuasi sekaligus memberikan upaya peneguhan publik atas kerja yang telah dilakukan dengan menggunakan indikator keberhasilan yang dituangkan dalam bentuk angka-angka.

Secara keseluruhan, rangkaian pidato Jokowi dari waktu ke waktu, khususnya pidato kenegaraan atas hari kemerdekaan, dilekatkan sesuai dengan situasi yang terkait. Konsistensi teks, terjalin antar tahun, dengan melakukan pembaharuan situasional. Jika kemudian ada pihak yang menilai di pidato terakhir memberi rasa kampanye, maka memang itulah kelebihan petahana, karena semua momen kehadiran incumbent diruang publik, dapat dioptimalkan sebagai softselling campaign, tidak ada yang salah.

Kita tentu akan melihat, narasi yang dibangun pihak penanding sebagai wacana pembanding dari narasi yang dibangun petahana. Disilah esensi demokrasi dalam kontestasi pemilihan, "beradu gagasan dan solusi bagi bangsa" dan tidak lupa menyelipkan rasa riang gembira bagi seluruh bangsa. Jelas akan dinantikan!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun