Sesuai teori tersebut, kebohongan dapat dilancarkan melalui upaya pemalsuan -falsification, menyamarkan -concealment dan mengaburkan -equivocation. Metode yang terkait pengiriman informasi dapat terlihat melalui ketidakpastian pesan, menarik pernyataan, menjawab secara tidak relevan, berusaha memposisikan citra diri hingga respon jawaban pertanyaan yang lambat.
Pernah memperhatikan hal-hal tersebut diwajah aktor politik kita? Mudah saja, meski tertangkap tangan masih berdalih dijebak, seolah tidak terjadi serta tidak mengetahui. Permasalahannya kemudian, kebohongan adalah aktifitas berkesinambungan. Suatu kebohongan ditutup dengan kebohongan lain, lantas menjadi lingkaran setan kebohongan yang meluas.
Maka memastikan para aktor dan elit politik yang berintegritas, dalam kancah perpolitikan nasional pada periode tahun politik mendatang menjadi penting. Peran publik pun menjadi penting, karena masa kampanye nantinya para tokoh/ aktor politikakan membuka terjadinya interaksi dialogis diruang publik.
Masyarakat berperan serta memiliki kemampuan untuk melakukan deteksi kebohongan, mulai dari aspek historis rekam jejak hingga mencermati pertanda non verbal. Sesuai teorinya, kebohongan yang semakin banyak, akan memunculkan terjadinya kebocoran atas versi kebenaran (leakage the truth).
Jadi, kalaulah ada calon yang berkontestasi berbicara dengan nada yang membingungkan, tidak lugas, serta tidak menghadap mata audiens, serta bebagai tanda non verbal lain seperti kegelisahan, waspada dan jelilah, karena disitu bisa jadi titik awal kebohongan dimulai. Maka jadilah pemilih cerdas dan berdaya agar tidak terpedaya serta kehilangan harapan!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H