Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Ulama dan Santri di Panggung Politik Era Digital

13 Agustus 2018   19:09 Diperbarui: 14 Agustus 2018   20:16 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/DIDIE SW)

Keriuhan pencapresan selalu membawa sisi menarik. Termasuk soal ulama dan santri yang akhirnya menjadi nominasi pendamping capres definitif sesuai pendaftaran ke KPU. Tentu kita akan membahas tentang arus yang menyebabkan Ulama masuk ke dalam pusaran politik, serta membaca posisi seorang santri di era modern abad digitalisasi saat ini.

Tidak ada yang salah dengan kehadiran Ulama dikancah politik, justru hal tersebut akan memberi warna berbeda dari wajah perpolitikan kita. Baik dalam posisi diminta ataupun mengajukan diri secara aktif untuk terjun adalah sebuah hal yang wajar. Apakah bukan berarti politisasi Agama? Maka tentu kita harus merunut sejarah bangsa ini, untuk menemukan relevansi Agama, Ulama, politik dan negara.

Kembali ke awal pergerakan embrio kemerdekaan, 1905 berdiri Sarekat Islam yang menjadi wadah organisasi keagamaan sekaligus pergerakan melawan kolonialisme. 

Transformasi sesudahnya terjadi dalam bentuk Partai Sarekat Islam, meski kemudian berpecah karena terdapatnya beberapa faksi yang saling berfriksi didalam internal partai tersebut. Kita tentu mengenal HOS Tjokroaminoto, Agus Salim bahkan Semoen dan Tan Malaka di periode penuh pergolakan itu.

Bahkan lebih jauh lagi, perlawanan Kesultanan di nusantara adalah bentuk dari tidak terpisahnya bentuk kekuasaan politik dan Agama. Jadi, bagaimanapun basis keagamaan memiliki peran kesejarahan yang berkelanjutan, baik dimasa lalu maupun dimasa mendatang.

Siapa yang memanfaatkan siapa? Pernyataan yang berkembang, menyebut bila nantinya Ulama hanya dijadikan alat untuk vote getter suara semata, seolah menempatkan posisi Ulama sebagai objek yang pasif. Kita bisa salah sangka, karena para Ulama jelas memiliki bekal yang teramat cukup untuk dapat memahami kehidupan politik dan kepentingan umat.

Peran utama Ulama dalam keberadaan kesejarahan selalu memberi pencerahan, menjadi tokoh pembaharu dan penggerak perubahan. Kita tentu perlu menunggu, tidak terburu-buru menjatuhkan prasangka. Bahwa Ulama akan menggunakan jalur konvensional jejaring pesantren sebagai lokasi membentuk citra dan memberikan pengaruh, tentu hal itu tentu saja normal. 

Hal ini mengingat persoalan aksesibilitas, maka pilihan saluran informasi terdekat tentu saja yang dapat dipergunakan, sepanjang sesuai kadiah dan dalam kurun waktu kampanye.

Tapi ini era digital, pertemuan keagamaan pun sudah mulai memasuki ruang virtual. Jadi menempatkan pesantren sebagai basis tradisional, tentu disertai dengan keharusan modernitas penggunaan teknologi. 

Dulu kita mengenal "Dai Sejuta Umat", kini frasenya sudah berubah "Dai Sejuta Viewer" karena peran teknologi informasi dan internet termasuk sosial media. Majelis YouTube bisa menjadi sarana perluasan syiar efektif, mengatasi persoalan ruang dan waktu. Termasuk Jamaah Facebook yang berkontribusi pada penyebaran pesan melalui like and share.

Santri Post-Islamisme?

Lantas bagaimana posisi santri dalam bingkai konteks abad digital? Apakah juga masih dimaknai dalam kerangka relasi Ulama-Santri seperti dahulu? Maka pernyataan Ulama selalu menjadi gerak laku santri? Perlu uji empirik. Terlebih konsepsi santri tadi di era modernitas memiliki kemudahan untuk memperoleh sumber informasi baru, sehingga aspek kognitif dalam hal pengetahuan menjadi bertambah jauh lebih dinamis.

Termasuk ketika mentargetkan santri sebagai pemilih, maka kelompok pemilih dalam kategori golongan pemilih muda ini berkontribusi sekitar 30% dari total pemilih, jelas bukan hal mudah. Karakteristik pemilih milenial perlu dipahami, mereka mempunyai kemampuan menilai dan menentukan pilihan secara independen, berbeda dibandingkan generasi sebelumnya yang justru lebih bergantung atas referensi pihak lain.

Meski terlihat apolitis, tetapi sesungguhnya milenial terlibat dalam memantau secara aktif perkembangan informasi politik secara update. Lalu bagaimana memaknai pernyataan "Santri Post Islamisme"?.

Tentu telah banyak pakar yang mampu mendefinisikan era Post Islamisme, satu bentuk yang paling mendasar adalah realitas Islam beradaptasi dengan tantangan perubahan jaman dan modernitas, sehingga konsepsi "Rahmatan Lil 'Alamin" ditunjukan dengan wajah yang penuh keramahan, termasuk dalam panggung politik dan demokrasi.

Jadi kalau ada santri yang disematkan pada seseorang yang tidak pernah "mondok" ya tentu saja dimungkinkan pada era digital, karena format dakwah yang juga masuk keruang-ruang virtual. Dengan metode yang berubah tersebut, hemat penulis, maka indikator penting seorang santri adalah nilai-nilai adab dan akhlakul karimah sebagai bentuk dari pengejawantahan ajaran Islam.

Sesungguhnya, proses depolitisasi dan pemisahan antara Agama dan Politik telah mengakar panjang dibangsa ini bersamaan dengan pembentukan bangunan Orde Baru paska 1965. Penyederhanaan sistem politik dengan fusi partai politik, serta pemberlakuan azas tunggal Pancasila demi klaim keberlangsungan pembangunan, yang ditopang oleh kepastian stabilitas politik adalah alasan yang dipergunakan saat itu, maka wajar saat itu slogan yang dibangun oleh para intelektual adalah "Islam Yes, Partai Politik No".

Tidak hanya di Indonesia, arena politik dihampir seluruh penjuru dunia, selalu dianggap sebagai ranah hutan belantara yang berkubang lumpur, dalam persepsi negatif. Sulit melawan arus keburukan, semoga dengan kehadiran Ulama dan Santri kali ini mampu memberi warna yang berbeda.

Ketika era berganti, dan perubahan adalah kepastian, kita tentu menyambut gembira keterlibatan Ulama dan Santri menjadi bagian dari panggung politik nasional, demi tujuan kebaikan. Tentu kita sepaham bila aktifitas demokrasi yang harus riang kali ini, adalah ajang perlombaan dalam kebaikan -"Fastabiqul Khairat" yang membawa kesejukan bagi bangsa ini!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun