Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Ulama dan Santri di Panggung Politik Era Digital

13 Agustus 2018   19:09 Diperbarui: 14 Agustus 2018   20:16 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lantas bagaimana posisi santri dalam bingkai konteks abad digital? Apakah juga masih dimaknai dalam kerangka relasi Ulama-Santri seperti dahulu? Maka pernyataan Ulama selalu menjadi gerak laku santri? Perlu uji empirik. Terlebih konsepsi santri tadi di era modernitas memiliki kemudahan untuk memperoleh sumber informasi baru, sehingga aspek kognitif dalam hal pengetahuan menjadi bertambah jauh lebih dinamis.

Termasuk ketika mentargetkan santri sebagai pemilih, maka kelompok pemilih dalam kategori golongan pemilih muda ini berkontribusi sekitar 30% dari total pemilih, jelas bukan hal mudah. Karakteristik pemilih milenial perlu dipahami, mereka mempunyai kemampuan menilai dan menentukan pilihan secara independen, berbeda dibandingkan generasi sebelumnya yang justru lebih bergantung atas referensi pihak lain.

Meski terlihat apolitis, tetapi sesungguhnya milenial terlibat dalam memantau secara aktif perkembangan informasi politik secara update. Lalu bagaimana memaknai pernyataan "Santri Post Islamisme"?.

Tentu telah banyak pakar yang mampu mendefinisikan era Post Islamisme, satu bentuk yang paling mendasar adalah realitas Islam beradaptasi dengan tantangan perubahan jaman dan modernitas, sehingga konsepsi "Rahmatan Lil 'Alamin" ditunjukan dengan wajah yang penuh keramahan, termasuk dalam panggung politik dan demokrasi.

Jadi kalau ada santri yang disematkan pada seseorang yang tidak pernah "mondok" ya tentu saja dimungkinkan pada era digital, karena format dakwah yang juga masuk keruang-ruang virtual. Dengan metode yang berubah tersebut, hemat penulis, maka indikator penting seorang santri adalah nilai-nilai adab dan akhlakul karimah sebagai bentuk dari pengejawantahan ajaran Islam.

Sesungguhnya, proses depolitisasi dan pemisahan antara Agama dan Politik telah mengakar panjang dibangsa ini bersamaan dengan pembentukan bangunan Orde Baru paska 1965. Penyederhanaan sistem politik dengan fusi partai politik, serta pemberlakuan azas tunggal Pancasila demi klaim keberlangsungan pembangunan, yang ditopang oleh kepastian stabilitas politik adalah alasan yang dipergunakan saat itu, maka wajar saat itu slogan yang dibangun oleh para intelektual adalah "Islam Yes, Partai Politik No".

Tidak hanya di Indonesia, arena politik dihampir seluruh penjuru dunia, selalu dianggap sebagai ranah hutan belantara yang berkubang lumpur, dalam persepsi negatif. Sulit melawan arus keburukan, semoga dengan kehadiran Ulama dan Santri kali ini mampu memberi warna yang berbeda.

Ketika era berganti, dan perubahan adalah kepastian, kita tentu menyambut gembira keterlibatan Ulama dan Santri menjadi bagian dari panggung politik nasional, demi tujuan kebaikan. Tentu kita sepaham bila aktifitas demokrasi yang harus riang kali ini, adalah ajang perlombaan dalam kebaikan -"Fastabiqul Khairat" yang membawa kesejukan bagi bangsa ini!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun