Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dilema Estafet Kepemimpinan dan Pasangan Calon

5 Agustus 2018   21:15 Diperbarui: 5 Agustus 2018   21:52 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pikir  panjang dan mengulur waktu! Mekanisme buying time dipergunakan secara  maksimal oleh koalisi parpol dalam memajukan pasangan calon. Saling ukur  dan saling tunggu, akan ditentukan di saat injury time. Kita terbiasa  melihat suguhan drama di akhir babak.

Kompleksitas  pengambilan keputusan dan penentuan pasangan calon tidak hanya  persoalan membangun visi serta kesepahaman kerja, tapi juga soal elektabilitas dan aspek politik setelah pembentukannya.

Bahkan  untuk petahana yang sudah pasti diusung kembali, toh menetapkan  pasangan diawal waktu bukan perkara mudah. Skema multipartai dengan  ketiadaan partai dominan mengharuskan terbentuknya koalisi, dititik ini  negosiasi kuasa menjadi penentu.

Pilihan  tidak berkoalisi tentu tidak mungkin, sebab ambang batas pencalonan  telah ditetapkan, terkecuali Judicial Review di MK tentang penghapusan  presidential treshold telah dinyatakan tuntas dan dimenangkan oleh  parapihak pemohon. Jelas peta politiknya berubah.

Agaknya,  putusan MK tidak akan terbangun dalam waktu yang singkat, terlebih  persoalan sengketa Pilkada serentak 2018 menjadi krusial untuk diputuskan. Dengan demikian, diasumsikan tidak ada kemungkinan perubahan  azas pencalonan, kecuali ada perubahan mendadak dalam waktu-waktu  terakhir menjelang.

Koalisi  telah terbentuk untuk kubu petahana, sementara itu prinsip berkoalisi  bagi kelompok penantang sudah samar-samar terbuka. Sekali lagi, koalisi  pragmatis dibentuk untuk tujuan jangka pendek pemenangan, sifatnya cair,  karena pada realitas politiknya masing-masing parpol bersaing dalam  kontestasi dan berusaha untuk saling mengalahkan.

Tongkat Pemimpin

Pembentukan  pasangan calon bukan hanya soal pembagian tugas semata, tetapi juga  tentang siapa yang akan berbagi panggung, sekaligus memastikan  eksistensi parpol.

Terlebih  bagi petahana, jika kembali mendapat mandat publik, maka periode ini  adalah masa bakti terakhir, dengan demikian pasangan pendampingnya saat  inilah yang akan mendapatkan hak waris kekuasaan. Popularitas yang  dibangun saat menjadi wakil pemimpin, merupakan modalitas terbesar bagi  pemilihan seterusnya.

Situasi  ini tentu tidak menguntungkan bagi partai penyokong utama petahana saat  ini, sementara itu disisi lain mengajukan pasangan internal tidaklah  mungkin, sebagai akibat keharusan nilai ambang batas pencalonan.

Pilihan  rasionalnya mengakseptasi calon dari wakil koalisi sebagai bentuk  akomodasi, tetapi hal itu jelas memberikan ruang bermain bagi regenerasi politik selanjutnya yang belum tentu seiring sejalan dikemudian hari.

Opsi  yang juga terbuka adalah mengajukan tokoh non partai sebagai paket  pasangan calon, tentu saja diperlukan upaya keras dalam membentuk konsensus dari anggota koalisi, karena bisa jadi konsekuensi dan bentuk  kompensasi yang diharapkan atas kepentingan berkoalisi adalah limpahan insentif elektoral, termasuk mendapatkan celah peluang berbagi kuasa.

Adu Elektabilitas

Berbeda  pada kubu penantang, kelompok oposisi yang berkoalisi, membangun  kesepakatan atas ketidakpuasan pada koalisi partai berkuasa. Meski memproklamirkan diri sebagai koalisi keumatan, klaim tersebut tentu  lebih merupakan jargon dibanding sebuah platform ideologi, karena  sejatinya pada kubu yang berseberangan pro-petahana pun terdapat  partai-partai berbasis Islam.

Posisi  dan situasi yang rumit dari barisan kontra atas incumbent ini juga  tidak lah sederhana dan mudah. Pemimpin koalisi oposisi seolah memiliki hak prerogatif pengajuan calon pemimpin, dengan membangun ruang kompromi  bagi pembentukan pasangan calon.

Soal  yang penting untuk dibahas adalah soal daya dukung elektabilitas figur  dan memastikan soliditas kerja mesin partai. Ukuran popularitas dan elektabilitas menjadi penentu utama, untuk mampu menyeimbangi pasangan  petahana.

Berbeda dari  koalisi petahana yang masih membukan peluang tokoh independen, meski  membutuhkan energi kompromi yang tinggi, maka koalisi oposisi sebagai  penantang menutup ruang kemungkinan tersebut, tentu saja karena semua  partai terhimpun dalam barisan ini jelas berhitung tentang cost and  benefit bergabung dalam koalisi.

Sekalilagi  ruang politik bersifat dinamis dan kadang memiliki ambigu didalamnya.  Semua kemungkinan bisa terjadi dan bisa juga berubah, sesuai situasi  yang berkembang. Agaknya penonton akan disuguhi misteri hingga tabir  tersingkap pada malam terakhir pendaftaran calon. Jadi, harap bersabar ini ujian!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun