Dunia adalah soal sudut pandang! Subjek dan objek berinteraksi dalam relasi yang bergantung, serta menggunakan perspektif sesuai dengan selera Anda.
Positivisme menjadi arus dominan, pemaknaan realitas adalah soal eksistensi objek. Sesuai ilustrasi Gua Plato yang memberikan gambaran realitas sebagai bayangan yang tertangkap inderawi, berkat pencahayaan dimulut gua.
Penjelasan atas indikator positivisme, akan sangat terkait dengan ukuran dan empirik sebagai pembuktian. Hal ini berkembang pada masa renaisanse, dan semakin menguat bersamaan dengan pemikiran Phytagoras yang menyatakan bahwa segala sesuatu adalah bilangan. Jadi, manakala substansi tidak terbilang maupun berbilang, maka substansi tersebut tidaklah eksis.
Pemahaman ala Phytagoras dikembangkan melalui Copernicus hingga Galileo dalam temuan astronomi terkait arah edar tata surya, kemudian kita mengenal mathesis universalis, karena ilmu tanpa angka tidaklah mampu menjelaskan hakikat.
Melalui positivisme, kita akan menjelaskan sebuah kategori realitas, dapat dipergunakan dalam mendukung prediksi, menggunakan pendekatan deduktif dengan membangun ruang serta jarak antara subjek dan objek.
Objek pada positivisme, menjadi penentu subjek. Pada upaya penjelasan hakikat, positivisme dilaksanakan melalui manipulasi terkontrol, berbasis statistik, menjadi sangat kuantitatif.
Situasi tersebut terbebaskan melalui cara berpikir ala Kant dan Decartes dengan ucapan terkenal, Corgito Ergo Sum -saya berpikir maka saya ada!. Sebuah abstraksi idealis melalui sistem berpikir subjektif.
Bagi individu, upaya mendekati hakikat dimulai dengan pertanyaan dan meragukan segala sesuatu. Kemampuan memberikan jawaban atas lontaran pernyataan tersebut, membawa kita pada tingkat kepastian atas objek.
Proses sadar untuk bertanya dan berpikir, memberikan penekanan pada peran dan pengalaman langsung individu sebagai subjek, yang kemudian dikumandangkan sebagai aliran fenomenologi berdasarkan Husserl.
Titik pandang Husserl dalam fenomenologi bermula dari Kant dan Descartes, meski kritik atas para pendahulunya tersebut ditekankan pada upaya distingsi tegas antara realitas yang memikirkan (subjek) dari realitas yang dipikirkan (objek).
Sesuai Husserl, studi fenomenologi menempatkan objek pada kuasa subjek, untuk dapat dipahami, data yang faktual adalah kemampuan pengelolaan subjek untuk mendapatkan lifeworld -hakikat, melalui induksi secara partisipatif -pengalaman.
Di mana pola yang dilakukan dalam fenomenologi, dengan merekonstruksi fakta sekaligus memberikan penilaian -judgement hingga membentuk interpretasi sebagai pemahaman.
Jadi, apakah objek realitas menginduksi kesadaran dalam bentuk ilmu bagi subjek, ataukah subjek yang menstimulasi ilmu atas objek? Tentu bergantung dari bagaimana pilihan Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H