Kata oposisi dalam dunia politik, bersangkut paut dengan posisi berseberangan kepentingan politik dari pusat kekuasaan. Kontestasi dalam demokrasi melalui instrumen partai politik menghasilkan partai berkuasa dan menghadirkan kelompok oposisi sebagai balancing atas kekuasaan itu sendiri.
Ibarat pendulum, dunia politik selalu bergerak dinamis. Tidak pernah ada kepastian atas dominasi, penguasa hari ini, bisa berubah paska pemilihan dikemudian hari. Publik menjadi penentu, siapa pihak yang akan diserahkan mandat kekuasaan pada suatu periode tertentu, dan bisa saja berubah, karena hal tersebut sangat bergantung pada situasi dan kondisi psikologis publik.
Karakteristik khas dalam demokrasi yang sehat, tentu saja tentang kedewasaan berpolitik. Meski tujuan utama dalam persoalan politik adalah power -kekuasaan dan authority -kewenangan, hal tersebut tidaklah menghilangkan hakikat mendasar kebangsaaan yakni pandangan atas kesatuan dan tujuan bersama, sebuah hal normatif idealis tetapi kesana semua akhir bermuara dan terarah.
Dengan demikian, tidak ada oposisi permanen semestinya, karena pihak yang berhadapan dengan pemegang kekuasaan bisa membangun kerjasama disatu titik, meski berbeda pendapat dibanyak hal lainnya. Praktek oposisi, akan bersifat partisan hanya kepada kepentingan publik dan bukan kepentingan sempit kelompok, terlebih sekedar menimbulkan kegaduhan.
Pro-kontra adalah kondisi wajar dan normal, tetapi memaknai perbedaan sebagai situasi tiada ruang negosiasi seolah memastikan kubu dan kutub politik yang terpolarisasi tersebut, membuatnya tidak mampu bekerjasama secara kolaboratif bagi kepentingan yang lebih luas. Oposisi dalam konteks sistem politik multipartai memang menyebabkan keharusan koalisi, karena dalam realitanya tidak terdapat partai politik yang dominan.
Gangguan Kepentingan Bersama
Jika demikian, koalisi baik dalam ranah kekuasaan maupun oposisi menempatkan kepentingan bersama dalam membawa aspirasi yang diwakilinya. Problem utamanya, koalisi yang dibangun tidak utuh dan bulat, karena masing-masing bagian dalam koalisi pun mencoba memenangkan aspirasi yang dibawanya. Bagaimanapun koalisi yang cair dalam pertarungan politik kekuasaan berhadapan dengan oposisi, memungkinkan timbulnya kelemahan dalam pemerintahan.
Hambatan terbesarnya adalah deadlock politic, hal ini bisa dimainkan dalam kerangka legislasi terkait aturan dan perundangan maupun persetujuan anggaran. Situasi seperti ini, layaknya government shutdown di Amerika, jelas tidak memberikan dampak keuntungan bagi parapihak, bukan tidak mungkin justru mendapat cemooh masyarakat, karena mengganggu layanan publik.
Keberadaan oposisi politik merupakan bagian dari prasyarat demokrasi yang fair, ketika fungsi check and balances berlangsung dengan baik, tetapi hal ini akan menjadi gangguan stabilitas bila kemudian kelompok oposisi hanya berupaya menetapkan rintangan bagi berjalannya pemerintahan. Menjadi partai berkuasa mendapat martabat, tetapi sebagai partai oposisi tetaplah terhormat.
Menariknya, wajah perpolitikan kita hari ini tidak ubahnya bak reality show, ruang politik menjadi bagian yang menghibur, seolah menjadi politiktainment, ada usur entertainment disana, bukan saja karena terdapatnya artis dan selebritis yang terjun ke dunia politik, tetapi juga karena melihat berbagai drama politik persis seperti setting scenario cerita dalam sebuah pertunjukan hiburan.
Perebutan kekuasaan antara pihak berkuasa dan kelompok oposisi berpusat pada dominasi diseputaran pengelolaan ekonomi dan legitimasi kekuasaan administratif. Adakalanya ketika pihak berkuasa lengah dalam melakukan pengelolaan tersebut, dan ruang publik dimasuki kelompok oposisi yang melakukan koreksi atas kekuasaan, kesanalah simpati politik publik mengalir.