Maka popularitas (keterkenalan) meningkat menjadi akseptabilitas (penerimaan) publik, karena kemudahan aksesibilitas (keterjangkauan) tokoh secara dialogis atas para pengikutnya.
Konsistensi yang tidak instant dalam pengelolaan sosial media, akan mampu mendorong akseptabilitas terkonversi menjadi elektabilitas (keterpilihan). Tidak ada shortcut dalam pemenangan calon, hal ini yang harus dipahami Parpol.
Sosial media menjadi tanda bagi arah baru dan berbeda atas proses politik, sekaligus merupakan pertanda bahwa perlu terdapat refreshment dalam pengelolaan kepartaian secara modern.
Politik dinasti yang menempatkan lingkar tertutup dari elit politik pada sebuah Parpol, hanya memberikan celah sempit bagi mobilisasi vertikal kader internal, sementara itu dalam kerangka Pilkada rekrutmen terbuka kandidat memberi ruang tokoh eksternal masuk dengan melewatkan proses kaderisasi.
Jika orientasi Parpol hanya tertuju pada kursi kekuasaan secara pragmatis, maka bisa dipastikan proses demokratisasi internal ditubuh partai pun tidak berlasung. Dengan demikian, situasi ini menjadi tanda dan pertanda dari kematian demokrasi kita.