Tampilan itu tidak bisa diabaikan. Kini kita sebut citra, bukan sekedar penampilan yang tampak dimuka saja, tapi sekaligus aksesoris kesan dalam pesan yang hendak dimunculkan secara bersamaan dengan keberadaan tampilan tersebut.
Bertutur, berlaku dan berpakaian pun menjadi sebuah aspek yang perlu dikelola, agar dapat membentuk citra secara sempurna sesuai dengan harapan.
Kadang berjins, berkaos, bersarung dan berpeci bahkan berjas formal adalah bagian dari kesan yang tengah dikonstruksikan melalui cara berbusana.
Pada beberapa tahun terakhir, kita semakin mengenal konsep pencitraan, yang lekat dengan kepentingan para pengalap kekuasaan.
Citra atau kesan, ibarat bertindak layaknya sebuah peran alias lakon dari seorang aktor. Dimana nantinya sang aktor akan berlaku dipentas pada panggung drama sandiwara.
Dalam bentuk tersebut diakhir tersebut, korelasi konsep dramaturgi Goffman menjadi relevan. Bahwa kehidupan adalah panggung sekaligus latar dari sebuah skenario drama.
Kita, alias diri sendiri (the self)Â adalah aktor yang berhadapan dengan peran dalam interaksi atas audiens (masyarat), baik pada panggung depan maupun panggung belakang dibalik layar.
Bermain peran adalah kemampuan bertukar wajah dan watak sesuai kondisi situasional yang diharapkan penonton, target sebuah drama adalah efek menghibur dan memuaskan khalayak.
Dengan demikian, para aktor dalam pentas teaterikal, termasuk ditahun politik, akan memiliki kemampuan beradaptasi layaknya mimikri ala bunglon. Benarkah? Silahkan dievaluasi.
Propaganda dan Kamuflase
Berbagai alat peraga kampanye, menjadi sarana sosialisasi. Dalam ilmu komunikasi disebut sebagai alat persuasi, sedangkan dalam kerangka kepentingan kekuasaan dan merubah prinsip pikiran hingga tindakan dikenal sebagai propaganda dan agitasi.