Tidak mudah menjadi seorang perawat! Posisi dan fungsinya yang ada dalam institusi layanan kesehatan, menjadikan perawat memang diharuskan multitasking.Â
Dalam keseharian tugas yang dijalankan oleh seorang perawat, maka peran yang diambil bisa bersifat independent sesuai core competency keperawatan yang dimiliki, atau dependent bergantung arahan dari pihak lain, maupun interdependent terkait dengan berbagai layanan lain di dalam struktur organisasi.
Keberadaan perawat dalam pelayanan kesehatan, dipergunakan untuk memastikan fungsi to care -memberi kepedulian, selain to cure -mengobati. Posisi vital perawat, semakin menegaskan makna pelayanan pada intitusi kesehatan sebagai, health with care become healthcare. Dengan demikian, profesi perawat memiliki tujuan dalam upaya membantu pemulihan kondisi pasien.
Karakteristik yang berbeda dari klien pada industri jasa kesehatan adalah situasinya baik secara fisik maupun non fisik yang sedang sakit. Sehingga dengan demikian, secara psikologis kondisi pasien mengalami penyakit -sick dan kesakitan -illnes, hal ini menjadi dasar potensi pemicu ketidaksenangan.Â
Konflik terjadi secara umum disebabkan karena adanya kondisi ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, memunculkan ketidakpuasan.
Situasi yang membahayakan, terjadi ketika sebuah ketidakpuasan berujung pada ketidakpercayaan. Konflik kemudian muncul secara terbuka, dan membutuhkan resolusi dalam penyelesaian masalah. Pada titik ini, nursing competency baik dalam skill, knowledge and attitude, tidaklah cukup tanpa kemampuan komunikasi yang memadai.
Peran komunikasi pada profesi keperawatan menjadi pelengkap paripurna atas kemampuan teknis keperawatan, menggenapinya melalui metode delivery yang sesuai. Perawat yang memiliki kapasitas untuk berkomunikasi secara baik, menempatkan pasien sebagai poros utama dari perhatiannya. Tentu hal ini akan berhadapan dengan aspek praktis, karena porsi kerja yang padat.
Melalui studi literatur, diketahui insight dari perspektif pasien yang diharapkan muncul pada aspek keperawatan. Diantaranya adalah:Â
- Upaya menempatkan pasien sebagai manusia,Â
- Waktu komunikasi yang cukupÂ
- Terciptanya empati atas pasien, danÂ
- Membangun rasa persahabatan.
Diketahui pula bahwa, konflik yang bersumber dari relasi pasien-perawat, kerapkali tidak terkendali. Bila tidak mampu dikelola, maka hal tersebut jelas akan menghabiskan sumberdaya yang ada. Dengan begitu, upaya untuk mereduksi konflik melalui pembentukan resolusi, sejatinya menjadi langkah penting dalam penanganan masalah.
Berdasarkan model konflik yang dikembangkan Thomas-Klinmann, maka upaya penyelesaian konflik yang terjadi, dapat melalui beberapa format, yakni (1) avoiding -menghindar (2) accommodating -mengakomodasi (3) competing -bersaing (4) collaborating -berkolaborasi (5) compromising -berkompromi, hal ini tentu sangat bergantung pada analisa situasi baik eksternal (berkenaan atas tingkat kepentingan relasi pihak lain) maupun internal (berkaitan dengan tujuan individu).
Tentu saja pilihan bentuk penyelesaian konflik dalam hubungan pasien-perawat akan terkait pada kapabilitas individu perawat, dukungan struktur manajemen dan budaya organisasi. Tidak terlepas pula, pada pembentukan pemahaman dasar yang diteguhkan kembali, tentang fungsi serta peran perawat dalam kesempurnaan layanan bagi pasien.
Lebih jauh lagi, tentu hal yang terpenting dalam industri jasa kesehatan dengan sifat human to human relations, maka prinsip humanisme perlu dikembangkan dalam mendorong pencapaian tujuan yang sama, tidak hanya sekedar beradu teknologi kesehatan tetapi sekaligus terdapat upaya memanusiakan manusia dalam kondisi kesakitan yang dihadapinya!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H