Sistem politik dimanapun, menempatkan kuasa segelintir pihak, atas mayoritas lainnya. Kelompok lapis kekuasaan tertinggi ini dikenal sebagai elit politik.
Lingkar kuasa, menempatkan para pemimpin politik sebagai pihak, yang memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, bagi kepentingan kolektif.
Elit politik memegang power (kekuasaan), sekaligus (authority) kewenangan yang dilekatkan pada posisinya. Problemnya, ke arah mana hal itu hendak ditujukan?.
Konsep dalam istilah "elit politik", sesungguhnya dipergunakan sebagai bentuk sinisme terhadap kekuasaan.
Dikarenakan, sesuai Pareto, pemegang kuasa adalah residu. Karakteristik dasarnya adalah penuh kelicikan dan menggunakan kekerasan.
Prinsip tersebut, menguatkan deskripsi Machiavelli, yang mengatakan bahwa penguasa yang kuat, harus memiliki karakteristik cerdik dan kejam layaknya singa.
Benarkah demikian? Bagaimana implementasinya?.
Politik dimaknai sebagai proses sekaligus cara, dalam mencapai dan mempergunakan kekuasaan bagi kepentingan publik.
Para penguasa, sepanjang sejarahnya, memiliki ruang sekaligus panggung untuk menampilkan dirinya, sekaligus memunculkan gagasan yang dimilikinya.
Interaksi dengan publik, merupakan bentuk dari komunikasi politik, sebagai metode langsung yang dapat dipergunakan dalam memperluas persuasi, membentuk kesepahaman dan mengikat para pendukung.
Faktor yang dibutuhkan bagi seorang pemimpin dalam meraih dukungan sekaligus memobilisasi pengikutnya adalah dengan: expert power (basis pengetahuan), referent power (identifikasi kesamaan kesenangan), coersive power (konsolidasi rasa takut) dan legitimate power (legalitas kekuasaan).
Keseluruhan faktor tersebut, diharapkan dapat mendorong percepatan proses persuasi politik publik.
Bentuk dasar persuasi, adalah mendapatkan informasi, lalu membentuk cara berpikir, hingga dapat mengubah sikap, yang menimbulkan rasa kepercayaan pada seorang pemimpin.
Salah satu model dari upaya merawat kekuasaan dari elit politik, adalah dengan penggunaan metode komunikasi propaganda.
Kebenaran tunggal versi penguasa, bisa direproduksi secara berulang, hingga menjadi indoktrinasi, melalui aktifitas yang mengarah pada upaya kontrol sosial.
Konsekuensi atas model tersebut adalah potensi abuse of power, yakni penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam jangka panjang, penggunaan propaganda akan membuat terciptanya monolitik persepsi publik, melalui kontrol ketat penguasa akan selalu membenarkan kekuasaannya.
Lantas dengan terbentuknya homogenitas publik tersebut, akan menjadi mudah bagi penguasa untuk meredam gerakan oposisi politik.
Persuasi politik dengan model propaganda, kerapkali dilakukan secara manipulatif, menampilkan kebenaran mutlak bagi penguasa.
Dengan begitu elit politik, memang menjadi sebuah sinisme kekuasaan, karena dampak pengaruh penggunaan kekuasaan yang dapat menghancurkan pemilik sejati kekuasaan itu sendiri, yakni masyarakat!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H