Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menantang Dosen Asing!

16 April 2018   01:45 Diperbarui: 16 April 2018   01:53 1199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (pixabay)

Menantang bukan menentang! Rasanya semakin tidak terbendung, globalisasi memudahkan arus perpindahan barang dan jasa. Logika dasarnya sama dalam kesetaraan.

Semua pintu pasar dibuka, tidak terkecuali, berlaku untuk semua sektor. Didunia pendidikan tinggi, semakin kuat tekanan itu dirasakan. Sebelumnya, ijin perguruan tinggi asing telah dinyatakan ke publik.

Kini, kesempatan untuk menjadi tenaga pengajar pun diberi keleluasaan bagi dosen asing untuk bisa berkancah didalam negeri.

Tentu, ekspektasi yang diharapkan dari berbagai kebijakan yang terbuka di dunia pendidikan, akan membentuk terciptanya karakter open mindset, dibanding berlama dengan kekakuan fix mindset. Jelas targetnya diasumsikan sebagai perbaikan kualitas.

Proses pengembangan dunia pendidikan yang bertujuan menciptakan keunggulan sumberdaya manusia, bisa terjadi dalam berbagai bentuk.

Dapat dimulai dari adopsi kurikulum, beasiswa pendidikan ke luar negeri, membangun affiliasi kerjasama dengan institusi pendidikan asing, hingga mendatangkan para pendidik asing itu sendiri.

Problemnya, perlu kejelasan aturan agar tidak menimbulkan kerancuan. Sesungguhnya, penggunaan native speaker, sudah diimplementasikan pada banyak sekolah berlabel internasional.

Memang belum menjangkau perguruan tinggi. Tetapi dalam konteks pertanyaan kritis, kita harus mampu mengurai potensi bias dari kebijakan tersebut.

Pertama: adakah kekurangan tenaga dosen nasional? Sehingga diperlukan secara urgent, akan kehadiran dosen bantu asing?.

Kedua: apakah kapasitas dosen lokal rendah? Dengan demikian kapasitas dan kapabilitas dosen asing dianggap lebih superior?.

Ketiga: sudahkah dilakukan pemetaan tenaga dosen nasional? Terkait skill kompetensi yang masih dibutuhkan pada program studi tertentu, dan terdapat persoalan kesenjangan terkait?.

Keempat: akankah dosen dan institusi perguruan tinggi lokal, mendapatkan insentif dan uluran bantuan pemerintah, untuk menjawab masalah kualitas proses perkuliahan?.

Beberapa pertanyaan lain bisa dikembangkan, tetapi list pertanyaan diatas dianggap perlu diutamakan, agar kebijakan dengan adopsi pintu terbuka tidak membuat kerancuan baru.

Efek penting dari sebuah kebijakan, adalah menimbulkan dampak positif sebagai resolusi dari masalah yang dihadapi. Karenanya kebijakan harus rinci mengatur dan melihat seluruh aspek.

Lantas perlukah kita menutup pintu dari ruang globalisasi disektor pendidikan? Tentu saja tidak, interaksi keilmuan akan terus berkembang bersamaan dengan interaksi kebaharuan ilmu yang selama ini memang didominasi pihak asing.

Bila sudah demikian, apakah dosen asing sebagai kebijakan bisa diaktualisasi? Perlu pengaturan lebih lanjut. Namun, menempatkan dosen asing sebatas dosen tamu, bagi terbentuknya interaksi akademik yang maju dan baik, adalah sebuah kelebihan.

Esensi Perubahan

Perubahan dalam kehidupan adalah hukum yang kekal, tidak dapat ditolak.

Dan dunia memang telah berubah! Termasuk dunia pendidikan tinggi. Banyak mahasiswa kita berusaha untuk mendapatkan pengalaman internasional, baik dengan merogoh kocek sendiri ataupun melalui beasiswa.

Maka kebijakan dosen asing, perlu dipahami menjadi upaya dalam mendorong perbaikan kualitas akademik, yang terbaca dalam berbagai survey atas peringkat perguruan tinggi lokal dikancah internasional.

Lalu, apakah kebijakan dosen dan kampus asing bisa menciptakan perubahan indeks kualitas akademik dalam proses hingga output pada pendidikan tinggi?. Masih asumtif.

Solusi akan perbaikan di pendidikan tinggi, yang paling dasar tentunya perluasan akses untuk mengenyam jenjang akademik, dikarenakan rendahnya angka partisipasi perguruan tinggi secara nasional.

Termasuk penetapan bidang serta program studi strategis, yang harus dimunculkan dan diproyeksikan bagi kepentingan nasional, untuk dapat berkompetisi melalui standar kompetensi sumberdaya manusia yang menjadi hasil dari proses pada perguruan tinggi itu sendiri.

Perubahan dapat didekati secara negatif, menghasilkan rejection -penolakan dan denial -penyangkalan. Namun dapat dihampiri melalui aspek positif, yakni adaptasi dan sinergi.

Pada kasus perguruan tinggi, kampus dan dosen asing adalah kompetitor baru, yang dapat dijadikan kawan sekaligus lawan. Tetapi abad ini, kita harus mengakui sulit bila harus bertahan sendirian, kolaborasi adalah cara yang bisa dimajukan.

Open mindset membawa aspek positif bagi kemajuan pendidikan tinggi negeri ini, untuk itu kampus dan dosen asing tidak perlu ditentang, karena kita akan menantang mereka dalam makna berkompetisi, untuk menunjukan performa yang berkualitas.

Yakinlah kita bisa! Karena pendekatan lokal lebih sesuai pada lingkup perguruan tinggi domestik. Namun memang perlu terobosan dan cara-cara baru, bagi dosen lokal dalam mengembangkan keterampilan mendidik, sesuai dengan perubahan tipikal audiens pada era disruptif ini, sebagai sarana adaptasi jaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun