Tafsir tentang fiksi mendadak kembali muncul ke permukaan. Bukan lagi tentang bubarnya negeri, tetapi soal kitab suci.
Filusuf menafsir melalui akalnya, rasionalitas menjadi dasar logika. Teks tentang kitab suci adalah final, pendekatan akal hanya setitik air di samudera ilmu didalam kitab suci, tidak sanggup memberi arti.
Pada kitab suci, ada iman yang melekat. Sementara soal iman adalah kepercayaan dengan penuh keyakinan, akan hal yang telah disuratkan Pemilik Agung Kehidupan. Sebaiknya kita tidak melekatkan fiksi pada kitab suci, sebuah perumpamaan yang sangat mungkin menjadi kontroversi.
Fiksi itu khayal, buah pemikiran dari akal manusia yang terbatas dalam ilmu. Bahkan melalui pendekatan filsafat kritis sekalipun, manusia kerap terjebak pada teks dan makna yang imajinatif. Pertanyaannya, apakah fiksi memiliki nilai guna? Apa manfaat fiksi dalam akal rasional manusia? Alat inderawi kita, memiliki kemampuan proyeksi, bahkan mimpi sekalipun dapat menjadi basis fiksi.
Fiksi menjaga manusia untuk tetap berselera, didalam benaknya. Bagaimana fiksi hidup ditengah arus kebangsaan? Cita-cita bersama dalam rumusan visi yang masih pada tataran ide, adalah sebuah fiksi. Lantas fiksi menjadi tidak bermakna, ketika tidak disandingkan dengan upaya konkrit dalam mewujudkannya.
Secara filosofis, dalam era modern, dunia digital melahirkan masyarakat siber, yang hidup dalam hiperrealitas. Dunia yang seolah-olah, adalah realitas semu, mungkin juga ini fiksi. Â Kita terperangkap kata dan makna berkejaran, sulit diterjemahkan seperti mengejar bayangan kita sendiri.
Ditengah modernisasi, gelombang tsunami informasi, menghasilkan batas maya yang semakin kabur antara realita fakta dan fiksi, semua seolah berbaur dan tercampur. Hoax merajalela, kita mengalami kesulitan menyaring kebenaran. Kepentingan berada diatas semua narasi yang muncul, bahkan kerap fiktif dengan membuat kebenaran palsu, alias berita bohong.
Jadi, fiksi yang terbentuk dalam cybercommunity adalah makanan harian, karena kebenaran imitasi terus direproduksi oleh pemain kepentingan.
Kita kerap dijauhkan dari fakta, karena data sering bersifat simpang siur dan berbeda bergantung milik siapa. Jika demikian, maka kita hidup ditengah kuasa dalam hiperrealitas milik parapihak, yang mengombang-ambingkan persepsi.
Akal sehat menjadi perlu dikembangkan, pemikiran cerdas nan brilian terbilang urgent untuk melakukan telaah kritis. Tetapi sekalilagi jangan campuri akal sehat dalam wilayah sekat narasi kitab suci, karena disana teritori Iman yang bekerja.
Lalu, akal sehat menjadi tercerahkan ketika mengambil inspirasi kitab suci, dan bukan sebaliknya. Karena dalam akal ada aspek luhur ruhaniah yang sulit diperbantahkan.