Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perangkap Teks dan Dunia Simulasi!

8 April 2018   23:46 Diperbarui: 9 April 2018   00:31 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terjebak dalam selubung perangkap! Ketika kata, kemudian terisi makna dan mengalami pendangkalan arti. Kalimat dalam diskusi Filsafat, selalu menambah keraguan. Rasionalitas ditampilkan melalui kekuatan logika. Meski ada tapal tidak bercampur, antara kapasitas kemampuan manusia yang terbatas, dibandingkan luas ilmu dunia dalam kuasa Illahi.

Realitas kehidupan kita, tampak semu. Penuh kepalsuan, bahkan dikonstruksi dalam wacana duniawi yang fana dan sekejap mata. Problemnya, symbol dan makna bertukar posisi sesuai kepentingan kita sebagai actor dalam kehidupan yang singkat ini. Kerapkali, kita lupa bahwa perangkap hidup dalam teks kehidupan kita adalah bentuk ujian atas keterbatasan logika dan rasio itu sendiri.

Tidakkah kita pernah berpikir tentang pemilik sekaligus pencipta bilangan logika dan rasio kehidupan ini?. Para pemikir mendudukan kerajaan akal dibalik batas umur yang telah ditentukan. Seolah hendak berupaya sekuat tenaga untuk mengurai dan melepas makna dari kata. Maka para pemikir lalu bertindak berdasarkan batas ego atas klaim kecerdasan miliknya. Padahal, dengan sedikit kemurahan hati penentu kehidupan, mencabut nafas hidup adalah sebuah hal mudah.

Benarkah teks memenjara makna? Ataukah makna hanya bersifat pasif mengurung dirinya pada bentuk kata yang dilekatkan padanya? Pentingkah semua tanya terjawab? Karena akal yang dangkal, adalah petunjuk kelemahan manusia sebagai makhluk dari Sang Pencipta.

Simulasi Mimpi

Akankah manusia hidup dalam kesadaran palsu? Benarkah kehidupan sangat bergantung pada simulasi yang hendak direkayasa didalam kehidupan itu sendiri? Pertanyaan filosofis yang ingin tampil kritis sesungguhnya memiliki batas ketumpulan analisa.

Karena sesungguhnya, ada keterbatasan dalam keluasan berpikir manusia. Ada ruang kepala yang membatasi isi kepala, dan dunia menjadi sangat sempit berbatas tempurung kepala teresebut. Benarkah simulasi? Atau kita hanya layaknya bidak pion dari kuasa yang lebih besar yang bisa jadi tidak nampak dalam eksistensi, tapi nyata dalam perwujudan realita?.

Kepala yang kecil itu, dan dunia yang maha luas, adalah perbandingan yang tidak setara. Manusia hanya mampu berpikir dalam batasnya, dan hanya pada mimpinya. Bahwa setitik kesombongan kecil manusia, hanya kias debu bagi Sang Khalik. Namrudz mati, begitupun Firaun, ada hal yang tidak dapat dilampaui dalam batas ke-Ridha-an.

Ketika biji sombong Muncul, bersegeralah menundukan diri dalam sujud sebagai bentuk kepatuhan yang tidak perlu dirasionalisasikan. Karena, akal manusia berbatas dan terhenti, pada esensi dasar kehidupan yakni kelahiran dan kematian. Darimana kita bermula dan kemana hendak menuju?.

Adakah renungan ini menjadi bermakna? Teks dan makna dalam kepala Anda adalah karunia, bersyukurlah atas indah kehidupan yang terberi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun