Tersiar kabar diberbagai forum komunikasi, surat pengunduran diri salah seorang dokter spesialis di daerah, yang menganggap perlakuan atas penghargaan jasa tindakan medisnya yang sangat tidak layak dan tidak manusiawi.
Dengan keharusan pelayanan sempurna, memastikan terhindar dari potensi malpraktik, serta kemungkinan berhadapan dengan tuntutan hukum dari pasien, imbalan yang diterimanya jauh dari kata sepadan.
Dan hal itu, semakin lengkap dengan adanya keterlambatan pembayaran klaim secara nasional, dari pihak penyelenggara program yakni BPJS Kesehatan. Beberapa waktu terakhir (Kompas, 21/3) mencuatkan tema tentang komitmen pemerintah, yang masih dianggap belum konsisten dalam mendukung pelaksanaan program besar dibidang kesehatan nasional tersebut.
Sebelumnya (Kompas, 20/3), terdapat usulan untuk melakukan pengendalian biaya agar masalah defisit bisa ditangani secara permanen dan bukan lagi berdasarkan kebijakan temporer.
Membaca kondisi sedemikian, maka hal terpenting adalah pemetaan persoalan dominan yang menjadi pokok permasalahan, dari terjadinya defisit BPJS Kesehatan.
Dalam konteks pemecahan masalah, maka bisa jadi problem terjadi tidak tunggal dan bisa berkomplikasi dengan berbagai persoalan lain, lalu menjadi mahaproblem.
Strategi apa yang dibutuhkan mengatasi mahaproblem? (1) mengurai simpul dan pangkal persoalan; (2) menempatkan masalah prioritas dan dominan sebagai fokus; (3) melakukan pendekatan berbeda atas satu masalah. Dengan demikian, mahaproblem terurai menjadi lebih kecil dan dapat diselesaikan satu persatu, bahkan secara parsial.
Kembali ke persoalan defisit BPJS Kesehatan, maka kita merujuk pada artikel yang berkaitan dengan (1) aspek kendali biaya; dan (2) komitmen pemerintah.
Berkenaan dengan aspek kendali biaya, ada beberapa substansi didalamnya, diantaranya; (1) potensi fraud pemberi layanan baik dokter maupun tingkat institusi, terlihat dari proses readmisi dan rujukan yang tinggi dari fasilitas layanan dasar. (2) moral hazard peserta, karena potensi insurance effect atas perluasan akses layanan kesehatan. (3) kemunculan penyakit katastropik, kategori penyakit berat yang mengambil porsi pembiayaan tinggi dan menyerap alokasi dominan. (4) ketidakmampuan badan pengelola menjalankan upaya manajemen secara efektif dan efisien dalam pengelolaan program.
Penjelasan yang lebih jernih mungkin dapat diterangkan sebagai berikut: (1) fraud yang diindikasikan sebagai kecurangan, sangat mungkin terjadi, sebagai upaya melakukan pengelolaan biaya pelayanan, tarif paket yang minimal sudah barang tentu tidak dapat menguatkan diagnosa penyakit yang bisa jadi memerlukan pemeriksaan mendalam. (2) insurance effect, dapat terjadi, sebagai akibat keterbatasan public yang tertahan selama ini, untuk mendapatkan layanan kesehatan sebelum program BPJS Kesehatan diluncurkan. (3) penyakit katastropik yang muncul bagaikan fenomena gunung es, memberikan ilustrasi yang nyata dimasyarakat bahwa persoalan kesehatan selama ini banyak tidak muncul ke permukaan, dan mendapatkan momentum pelayanan saat implementasi BPJS Kesehatan dilaksanakan. (4) terkait efektifitas dan efisiensi kerja badan pengelola, maka hal ini harusnya menjadi batasan yang pokok dalam kapasitas sebagai penyelenggara program, sembari melakukan perbaikan berkesinambungan.
Lantas, bila demikian apa pangkal masalahnya? Tentu saja ada diaspek tinjauan kedua, yakni komitmen pemerintah. Ketika rumusan formulasi program BPJS Kesehatan adalah asuransi sosial gotong royong, maka kalkulasinya hendaknya detail, dan dipastikan sumber-sumber pembiayaan. Ketika, pemerintah beritikad untuk memberikan subsidi bagi sektor kesehatan, maka bentuk subsidinya harus terukur dan tepat sasaran.