Stimulasi yang dilontarkan Presiden untuk mendorong inovasi lembaga keuangan dalam negeri, khususnya dalam memberikan kemudahan bentuk fasilitas pembiayaan dalam bentuk student loan bagi para peserta didik, jelas merupakan angin segar bagi institusi pendidikan.
Meski hanya sebagai sebuah wacana awal, penting kiranya untuk kemudian dijadikan dasar formulasi bentuk yang lebih riil dan sesuai dengan kebutuhan yang terjadi didunia pendidikan. Khususnya bagi perguruan tinggi swasta, yang melakukan pengelolaan dana secara mandiri.
Sesuai dengan namanya, student loan, maka kemungkinan bentuk yang diluncurkan adalah fasilitas kredit personal atas pemohon dalam statusnya sebagai peserta didik. Asumsi yang dikembangkan dari format student loan adalah kredit pendidikan, guna mendorong peningkatan angka partisipasi publik.
Seperti diketahui, APK Perguruan Tinggi kita tidak lebih dari 30%, sebuah angka yang terbilang terbalik dengan sebaran jumlah perguruan tinggi yang hampir 4.000 institusi. Kemudahan pembiayaan tentu saja diharapkan, dapat menumbuhkan minat untuk masuk ke perguruan tinggi.
Tetapi, kredit bagi mahasiswa ini juga mengandung berbagai konsekuensi. Seperti bagaimana skemanya? Adakah jaminan? Bagaimana pengembalian? Bagaimana memantau kepastian penyerapan lulusan pendidikan tinggi di dunia usaha ataupun industri? Lantas bagaimana perlakuan kredit macet?.
Khususnya di Australia, skema student loan telah dipergunakan bagi mahasiswa lokal asal negeri kangguru itu sendiri yang berminat berkuliah. Pola pengembaliannya adalah besaran pajak yang berbeda setelah mendapatkan pekerjaan. Asumsinya rigid, sistem pengelolaan dan pendataan warga negara telah terbentuk dalam sistem identifikasi tunggal yang terkontrol.
Pertanyaan yang perlu dilakukan secara reflektif, bila kemudian opsi student loan hendak diluncurkan perlu ada instrument yang jelas dalam pengukuran dan pengaturan serta pemantauan. Hal ini ditujukan agar nilai manfaat student loan, dapat menjadi dana bergulir yang bisa dipergunakan masyarakat.
Persoalan lanjutan yang juga perlu dipecahkan adalah merombak persepsi dan mindset. Student loan bukanlah dana hibah yang tanpa kewajiban, apalagi terkesan diterima secara gratis. Harus ada upaya seleksi dan screening yang serius, agar mahasiswa yang mendapatkan student loan pun, memiliki rasa bertanggungjawab untuk lulus cepat dengan hasil terbaik, dan dapat langsung diserap industri.
Lantas, apakah dengan begitu skema student loan sudah tertutup peluangnya? Mengingat perilaku publik yang masih belum beradaptasi? Tentu tidak, justru hal ini perlu dicoba dan menjadi sarana pembelajaran secara inovatif bagi lembaga keuangan, termasuk dalam menetapkan pola pembiayaan dan mitigasi risiko, yang mungkin terjadi. Jelas, perlu dukungan penuh pemerintah.
Bila demikian, apa yang perlu dilakukan? (1) pemetaan pendidikan dalam kerangka strategis pada kepentingan nasional, (2) bekerjasama dengan pihak industri swasta dan BUMN untuk menjadi penampung lulusan, (3) perlu periode adaptasi program untuk terbiasa dengan skema student loan.
Apa bentuk program adaptasi itu? Hemat penulis adalah beasiswa bersyarat yang diperluas. Skema beasiswa memang telah lebih banyak dipergunakan, khususnya dalam mendukung pembiayaan pendidikan. Jika kemudian format dari setting student loan sedang dirancang, maka perlu program antara berupa beasiswa nasional bersyarat diperluas.
Penyelenggara negara seharusnya memiliki kapasitas yang cukup untuk melakukan evaluasi pendidikan tinggi nasional, dalam arti kapasitas terbesar perguruan tinggi ada di pundak institusi swasta. Sementara perguruan tinggi negeri telah mendapatkan banyak previlledge, maka beasiswa bersyarat dan meluas ini, menjadi modal perluasan bagi akses pendidikan tinggi swasta.
Kenapa begitu? Karena, melalui seleksi masuk yang ketat di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan tersaring mereka yang memiliki kemampuan akademik yang baik, serta umumnya ditopang dengan kemampuan finansial yang baik pula.
Lantas apa yang tersisa bagi Perguruan Tinggi Swasta (PTS)? Mereka yang masuk di PTS, rerata memiliki semangat berkuliah namun memiliki keterbatasan dalam kapasitas akademik dan keuangan.
Disini titik krusial persoalan terurai, beasiswa bersyarat dan diperluas yang kemudian akan dikonversi menjadi student loan, ditujukan bagi peserta didik PTS guna memastikan kemampuan bayar dan mendapatkan pendidikan tinggi. Terlebih kapasitas tampung PTN terbatas, dan daya tampung PTS belum optimal.
Dengan demikian, tujuan peningkatan angka partisipasi pendidikan tinggi dapat dicapai, sekaligus secara bersamaan memastikan PTS berdaya dan memiliki kemampuan dalam mengembangkan kualitas perkuliahan, yang selama ini menjadi persoalan lain dari ketidakberdayaan PTS Nasional khususnya bagi kampus yang berkelas menengah dan kecil.
Jadi student loan atau beasiswa? Semua tergantung keputusan pemerintah, sepatutnya solusi tersebut menimbang dengan tepat dinamika perguruan tinggi nasional, dan hal ini pun dapat menjadi jawaban bagi eksistensi PTS kelas gurem dimasa mendatang. Semoga dapat direalisasikan!. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H