Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Awas "Penumpang Gelap" di Era Digital

9 Maret 2018   22:22 Diperbarui: 9 Maret 2018   22:28 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah free rider menjadi satu kosakata baru, yang mencuat seiring dengan fenomena penangkapan para penyebar hoaks diranah digital. Problemnya, konsentrasi kita memang tengah tersita untuk pada persoalan politik, padahal free rider di era digital merambah berbagai sektor.

Sebagaimana perilakunya, penumpang gelap alias free rider dimaknai sebagai pihak yang mendapatkan keuntungan, secara cuma-cuma. Prinsipnya tanpa andil yang adil, para penumpang gelap memanfaatkan keadaan untuk kepentingan dirinya sendiri.

Momentum penangkapan para penyebar berita bohong alias hoaks adalah bukti dari bagaimana dunia digital, membawa serta dampak negatif pada kehadirannya. Meski tidak dipungkiri, secara bersamaan, dunia digital membawa peluang akan harapan kebaikan. 

Pembonceng illegal, mencari kesempatan dalam kesempitan, adalah ilustrasi yang tampak sesuai dengan karakteristik free rider tersebut. Pemboceng yang kerap tidak kasat mata ini, membuyarkan rasionalitas, sekaligus memunculkan sifat emosionalitas. Bahkan masuk diluar problem politik, termasuk diantaranya persoalan ekonomi keseharian publik.

Hari-hari ini, kita mudah sekali mendapatkan berita tentang investasi bodong, undian abal-abal, koperasi palsu, penipuan berkedok arisan, bahkan sampai kebohongan atas penyelenggaraan ibadah umroh. Hal tersebut jelas nampak, dan menjadi lebih sering terlihat dipermukaan saat ini.

Hoaks pun merambah banyak sendi dalam kehidupan masyarakat, secara nyata. Meski saat ini korelasi hoaks, dilekatkan pada ranah politik karena ada dalam ketat dan panasnya suhu politik nasional dimasa tahun politik.

Padahal, pemahaman tentang hoaks yang utuh, perlu diluas agar mekanisme penanggulangan yang dilakukan terjadi secara sistematik. Seharusnya domain tentang sebaran hoaks diluar ranah politik, pun tetap menjadi wilayah kerja badan siber nasional. Karena hal ini, perlu ditangani secara integral.

Jadi perkara hoaks, jelas bukan soal urusan politk dan elit politik serta politikus, ini juga tentang orang kebanyakan yang termakan hoaks akan iming-iming janji palsu dan berita bohong tersebut yang dimanfaatkan sekelompok penumpang gelap.

Korbannya pun tidak main-main, dana kumpulan yang miliaran hingga triliun bisa diraup dengan melibatkan populasi yang besar. Apa maknanya? Hal ini tentu bisa dilihat dalam beberapa aspek, yakni; (1) publik (2) free rider dan (3) hoaks.

Efek Budaya Instant

Pada kajian tentang publik, maka budaya instant adalah karakter yang menguat saat ini. Hampir dari keseluruhan proses yang berlangsung dalam kehidupan kita, mengalami percepatan. Pun kita kemudian menjadi manusia yang tidak sabar, berorientasi hasil bahkan kerapkali melupakan upaya dan proses.

Kehendak untuk mendapatkan hasil melalui shortcut alias jalan pintas, adalah fakta. Lebih jauh lagi, sikap tamak dan pengagungan kebendaan dalam abad yang ditandai dengan perilaku narsistik dan tampil dalam citra keduniaan, membuat kita bermimpi tentang kekayaan yang tampak bisa dijatuhkan dari langit, secara harafiah.

Sedangkan, berkait tinjauan tentang si "penumpang gelap", maka motifnya justru telah terang-benderang, tiada lain kecuali keuntungan. Beberapa diantaranya menjadikan, membaca arah perilaku publik, yang terbentuk secara hedonis dan materialistik tersebut sebagai sebuah kesempatan.

Dalam bahasa bisnis, kesempatan berarti pula peluang mendulang untung. Bahkan free rider bisa menyesuaikan diri berdasarkan kepentingan pihak pemesan, menjadi perantara untuk masuk ke tengah ruang publik, sekaligus menebarkan perangkap kebohongan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Jika kita tidak jeli, sulit untuk melihat keberadaanya, meski selalu lalu lalang dijagad dunia maya.

Sementara hoaks si kabar bohong tersebut, diproduksi untuk menjadi medium yang efektif mengacaukan kesadaran public sekaligus beradaptasi dengan budaya public itu sendiri. Ketergesaan dan budaya instant, mengakibatkan kita cenderung menerima tanpa syarat, tanpa proses konfirmasi, validasi serta upaya untuk melakukan pendalaman akan sebuah informasi.

Hoaks si berita penuh kebohongan, memelintir daya nalar dan kemampuan berlogika. Bohong yang berulang dalam durasi paparan yang berkepanjangan, kemudian tampak sebagai sebuah kebenaran baru yang dipercayai secara semu, namun yakinlah bahwa ada sang sutradara dibalik berbiaknya hoaks yang siap menangguk untuk diakhir cerita.

Bila sudah demikian, tidak bisa dihindari bahwa proses pencerdasan bangsa dengan peningkatan literasi digital menjadi penting. Dengan demikian tugas, badan siber negara tidak hanya menjadi garda tangkal taktis ketahanan digital nasional, terlebih mewakili penguasa.

Badan siber nasional secara bersama lintas aparatur untuk mendorong edukasi digital public, agar melek "digital", tidak hanya soal perluasan akses internet dan dunia online, tetapi sekaligus membudayakan upaya memisah dan memilahkan informasi, dari berita sampah yang ditebar si penumpang gelap.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun