Malam itu, di tengah kemacetan yang luar biasa padat pada jalur utama, akhirnya kami menempuh jalan alternatif.
Wilayah yang dilalui adalah kawasan area remang-remang, lengkap dengan berbagai ekosistemnya.
Tidak jauh dari area yang hingar bingar, dengan kedipan lampu disko dan lagu dangdut koplo itu, terlintas sebuah sekolah dasar dan kantor kelurahan.
Apa boleh buat, itu jalur alternatif menembus kemacetan yang menggila.
Lokasinya tidak seberapa jauh, hanya selemparan batu saja. Rasanya mustahil, kawasan itu, tidak terlihat dan luput dari perhatian.
Mungkin karena jam operasionalnya berbeda, bisa jadi seolah ada dua dunia, dalam sebuah kawasan yang sama.
Ironi Tersamar
Fenomena itu, seolah menghampar dalam realitas kehidupan kita dalam sebuah ambigu. Pendidikan dan pemerintahan, bersandingan dengan potensi kemunduran moralitas.
Kantor kelurahan dan sekolah dibuka pada pagi, sementara wilayah remang-remang itu membuka dirinya di larut malam hari.
Institusi pengajaran moral masa depan ditingkat dini, melalui pendidikan dan sekolah, berhadapan dengan aktifitas geliat "ekonomi malam".
Mungkin kini persoalan moralitas, hendak dilepaskan menjadi urusan dan persoalan individual. Bisakah demikian?. Rasanya sulit, karena kota termasuk mahluk sosial dalam kelompok masyarakat.