Jelang tahun politik, maka tensi disetiap wilayah penyelenggaraan menjadi bertambah. Tentu saja harapan terbesar dari periode kontestasi politik, adalah terpilihnya kepemimpinan yang mampu membawa perubahan serta perbaikan.
Layaknya sebuah kontes, maka masing-masing kandidat akan memunculkan personalitas dan profesionalitas yang diusung melalui visi serta misinya. Tetapi persaingan dalam perebutan kursi kekuasaan, memungkinkan dan berpotensi menimbulkan friksi.Â
Benturan kepentingan dan gesekan yang terjadi, khususnya dilapisan pendukung merupakan efek turunan dari kerasnya pergesekan ditingkat atas. Hal ini, jelas harus diantisipasi, dengan menciptakan ruang kampanye yang cerdas dan mencerdaskan.
Pola dan metode komunikasi, harus digagas oleh setiap calon pemimpin dan tim pemenangan, dalam setiap rentang fase kampanye. Dimulai sejak masa pra hingga pasca kampanye. Harus disadari, kampanye adalah bentuk dari format komunikasi yang bermakna interaksi sosial.
Dengan demikian, setiap pihak yang terlibat dalam tahun politik mendatang wajib memahami dengan jelas, model komunikasi yang menggunakan bahasa secara jelas dan lugas, menghindari terjadinya defisit komunikasi yang berujung pada malkomunikasi, serta berakibat pada keresahan audiens.
Para nominator, harus memiliki kemampuan dalam hal mendengar, berbicara dan memprogram secara bersamaan, termasuk menawarkan solusinya. Â Membentuk komunikasi intrapersonal secara jamak, dan dialog adalah cara terbaik menyerap aspirasi publik secara menyeluruh.
Kandidat pemimpin, diharapkan telah utuh serta bijaksana dalam memandang kursi kekuasaan. Sehingga dengan demikian, kejujuran serta seluruh perangkat nilai moralitas, menjadi panduan yang dikedepankan. Problem utamanya, siapkah para calon untuk mampu memaknai secara positif kemenangan maupun kekalahan dalam sebuah pemilihan?.
Konflik dan Negosiasi
Berpikir besar adalah kualitas pemimpin, bukan sekedar berpikir menang dan menang-menangan. Jumlah suara yang terkumpul adalah bentuk persetujuan. Pemimpin sudah sepantasnya memiliki kemampuan serta kecakapan berkomunikasi, tidak harus dominan berbicara, tetapi sekaligus mendengar dan membuat kesimpulan persoalan dan penyelesaian.
Seorang pemimpin harus memiliki kesadaran akan timming berkomunikasi. Tidak setiap waktu pemimpin harus berkomunikasi dengan intonasi tinggi dan bersifat intruksional. Tingkat kecerdasan pemimpin dalam berkomunikasi akan dapat menakar, kondisi atas situasi lingkungan, budaya, serta memahami audiens yakni publik yang dipimpinnya.
Baik saat pra maupun pasca kampanye, konflik bisa muncul secara aktual. Bisa bersifat langsung dalam bentuk aktifitas fisik, ataupun ditingkat gagasan dan ide. Konflik sendiri adalah bentuk dari perbedaan kepentingan dalam sebuah interaksi, terlebih pada suatu proses pemilihan.
Upaya untuk menghindari terjadinya konflik secara terbuka, harus dilakukan secara internal -oleh para pasangan calon, maupun terstruktur pada lingkungan ekstrenal --aturan terkait. Pada ruang resolusi konflik, maka batas negosiasi antar para pihak harus dipertemukan.
Pilihan akomodasi dan kolaborasi adalah langkah yang dapat dipilih, meski dengan berbagai pertimbangan terkait. Tetapi mampu bersikap dewasa dan memiliki sikap kenegarawanan adalah bentuk dari karakter mulia bagi mereka yang tidak terpilih, toh masih ada peran aktif yang dapat diambil sebagai bagian dari kelompok pengawas dan penyeimbang.Â
Kita tentu akan melihat, bagaimana proses pematangan komunikasi dan politik didalam negeri pada periode tahun politik, baik ditingkat lokal daerah maupun nantinya dilevel nasional. Para pemimpin dan kumpulan pendukung, sebaiknya bersiap serta berupaya dalam kebaikan, untuk mencapai hal-hal terbaik melalui cara-cara dan jalan terpuji.
Semoga kita bisa bersikap rasional, layaknya manusia dewasa kali ini!. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H