Salah satu hal yang menandai perbedaan abad ini adalah arus informasi dan teknologi berdasarkan perkembangan pengetahuan.
Hal itu pula yang disadari Tiongkok, dalam memposisikan dirinya pada pusaran globalisasi. Tidak mudah membangun tembok pelapis proteksi negara, layaknya tembo besar Tiongkok, ditengah keterhubungan antarnegara didunia saat ini, termasuk sharing akan informasi dan pengetahuan.
Setidaknya demikian yang menjadi uraian Saud Siringo-ringo pada buku Internet di Tiongkok: Negara Menaklukan Bisnis. Studi kasus Tiongkok memang menarik, karena karakteristik khas negeri tirai bambu tersebut.
Tiongkok adalah kekuatan ekonomi baru, populasi yang masif dan menjadi motor bagi pergerakan serta pertumbuhan ekonomi dunia.
Hal spesifik yang menjadi pembedanya adalah sistem pemerintahan komunis yang dianutnya. Meski secara politik, negeri ini ber-ideologi tunggal dengan azas komunisme, tetapi Tiongkok telah melakukan reformasi ekonomi sejak 1978 menggunakan pendekatan industrial dan terbuka.
Pemerintahan yang tertutup, tetapi membuka diri pada sektor ekonomi, membuat seolah terjadi dualisme didalam negeri Panda tersebut.
Tetapi ekonomi disubordinasi serta tunduk dibawah kepemimpinan politik, meski terdapat ambigu akan nasib ideologinya dimasa depan, bagi negara berpenduduk sekitar 1.36 miliar jiwa ini.
Para pemimpin Tiongkok memahami bahwa negara dan pelaku bisnis dapat bersinergi, utamanya dalam mendorong kemajuan perekonomian.
Negara memiliki peran regulasi dan otorisasi, khususnya berkenaan dengan kewenangan dalam kekuasaan. Sementara dunia bisnis, menstimulasi gerak ekonomi, menghadirkan inovasi dan pertumbuhan.
Pada dasarnya negara secara sendiri, tidak cukup mampu menjadi regulator sekaligus operator, bagi kemajuan perekonomian tanpa mendapat dukungan pihak swasta.
Internet dalam Pengawasan dan Restriksi