Tantangan terbesar dari kemampuan manajerial adalah mengatasi persoalan yang membelitnya tanpa menimbulkan problematika baru. Ibarat slogan pegadaian yang menyelesaikan masalah tanpa masalah.
Tidak terkecuali, bagi BPJS Kesehatan yang terus mengalami defisit, dalam kurun waktu penyelenggaraannya.
Kuasa pemerintah dalam menutup defisit BPJS Kesehatan, selalu menjadi langkah terakhir yang dipergunakan dalam menuntaskan masalah senjang biaya dari pendapatan BPJS Kesehatan.
Setidaknya, berbagai usulan mengemuka, dan secara garis besar, terdapat beberapa langkah solusi penyelesaian diluar tambalan dana talangan pemerintah tadi.
Pertama: kenaikan premi sesuai nilai resiko peserta. Hal ini sekaligus mendorong peningkatan kesadaran untuk hidup sehat. Premi adalah sarana bayar klaim, sehingga nilai premi yang terbentuk harus mencerminkan resiko yang potensial terjadi.
Kedua: pengurangan manfaat bagi peserta. Strategi ini, merupakan langkah untuk menambal defisit, dengan asumsi mereduksi insurance effect dimana terdapat peningkatan status kunjungan pasien ke pusat sarana kesehatan.
Ketiga: efisiensi operasional penyelenggaraan. Hal yang rasional, mengingat kondisi minimnya peningkatan pendapatan, maka penekanan biaya harus dilakukan agar tercapai keseimbangan. Tidak dipungkiri, salah satu faktor biaya yang perlu dievaluasi adalah operasional program BPJS Kesehatan.
Keempat: cost sharing sebagai bentuk iur biaya yang mengandaikan tanggungjawab peserta atas kewajiban yang seharusnya ditanggung. Hal ini menjadi bentuk partisipasi publik dalam biaya kesehatannya sendiri.
Katastropik: Persoalan Berat dan Mahal
Beberapa saat lalu, dinyatakan bahwa sebagai upaya mengatasi defisit maka BPJS menyatakan akan menerapkan penjaminan tidak lagi 100%, masyarakat akan ikut menanggung biaya dalam bentuk cost sharing untuk penyakit katastropik.
Apa itu penyakit katastropik? Dalam bahasa awam penyakit ini adalah penyakit berkategori berat yang butuh penanganan lama dan mahal serta mengancam jiwa.