Bentuknya seperti problem jantung, gagal ginjal, kanker dan stroke serta berbagai bentuk penyakit lainnya. Dalam evaluasi BPJS Kesehatan, jenis penyakit dalam kelompok ini yang memakan porsi pembiayaan JKN secara dominan.
Pertanyaannya kemudian, apakah bentuk format solusi yang ditawarkan tersebut, sudah disimulasikan? Dihitung dengan benar manfaat dan hasil yang diperolehnya?.
Lantas selanjutnya, apakah fokus terbesar dalam mengatasi defisit hanya pada penyakit katastropik saja?. Bagaimana dengan yang berkategori penyakit kategori ringan dan sedang? Siapa yang menentukan batasan klasifikasinya?.
Dalam format skema usulan untuk cost sharing sebagai bentuk pengalihan nilai penjaminan yang sebelumnya 100%, maka kebijakan tersebut dapat dipahami dengan penjelasan, bahwa publik memiliki tanggungjawab dalam bentuk partisipasi pembiayaan kesehatan individu, sekaligus menjaga pola hidup sehat agar tidak sakit.
Tetapi untuk iur biaya bagi penyakit katastropik, nampaknya belum bisa dimengerti dengan jelas.
Kalau jenis kelompok penyakit ini berat dan besar biayanya serta mengancam jiwa, mengapa tidak mendapatkan prioritas utama penanganan?.
Penentuan prioritas penanganan dalam ranah medik menggunakan pendekatan penilaian atas kondisi kegawat daruratan, apa gawat saja? darurat saja? atau kombinasi keduanya?
Mengapa tidak sebaliknya, penyakit dengan kategori ringan hingga sedang pada taraf tertentu dibebankan kepada peserta, karena nilainya masih dapat ditoleransi sekaligus mengeliminasi potensi insurance effect atas kasus-kasus non gawat darurat.
Sebagai individu non medis, tentu saja ekspektasi program BPJS Kesehatan bisa bermakna banyak bagi indikator kesehatan nasional. Meski saat ini peran utamanya masih diaspek kuratif dan belum banyak masuk keranah preventif maupun promotif.
Jangan sampai pada akhirnya kita sesat dalam alur berpikir, seperti cara pandang simplifikasi ala Cak Lontong yang bilang, kalau sehat itu kuncinya sangat sederhana, ya jangan sakit!.
Bila statement keliru ala Cak Lontong dipakai sebagai strategi ,dalam keputusasaan menghadapi defisit BPJS Kesehatan, tentu kondisi kita semua sudah tidak lagi sehat untuk berpikir secara jernih.