Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Ambang Krisis dan Realitas Empirik

14 Juli 2017   14:25 Diperbarui: 14 Juli 2017   14:31 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rentetan kejadian yang terjadi dalam skala nasional selalu menarik untuk dicermati. Eskalasi kepentingan, yang terakumulasi dalam aspek sosial politik dan ekonomi ibarat bara dalam sekam, memiliki potensi leputan yang dapat semakin membesar dikemudian hari.

Gerak langkah partai dan elit politik yang saling bersinggungan membuat situasi kian social bergerak dinamis, dan sekali lagi mempunyai kemungkinan mengusik stabilitas. Identitas kelompok mengerucut dalam gelanggang politik, bermula saat pilkada di Ibukota. Friksi yang bersebrangan menjadi tidak terelakan bahkan mengemuka.

Selanjutnya, beberapa kejadian yang berlangsung seolah memiliki korelasi dalam tendensi tertentu. Problemnya aspek ekonomi tidak juga lebih baik, sehingga situasi yang terjadi secara keseluruhan hampir dapat dikatakan berada dibibir jurang krisis.

Dalam aspek kehumasan, periode krisis, dimaknai sebagai kondisi darurat yang dapat mencuat menjadi kekacauan bila tidak terkelola dengan tepat. Banyak hal, dalam sektor ekonomi, sosial dan politik mengalami guncangan diwaktu-waktu terakhir ini.

Realitas dan Era Post Truth

Dalam ranah politik, skandal korupsi dan perselisihan kepentingan kelompok mencuat diberbagai lembaga. Kompromi dilakukan dalam situasi yang temporal, karena dalam nama kekuasaan yang abadi bukanlah kawan melainkan kepentingan itu sendiri.

Bahkan hingga gerak cepat dalam mengantisipasi paham radikal, secara langsung menghujam ke tubuh organisasi kemasyarakatan yang telah tumbuh dimasyarakat, meski demikian kita perlu cermati arah selanjutnya.

Pada ranah social, terdapat keberhasilan dalam upaya penggagalan penyelundupan narkotika sabu seberat 1 ton, namun hal itu seolah berseberangan dengan para elit yang tertangkap tangan sedang berpesta narkoba.

Tidak hanya itu, dipersoalan ekonomi sekalipun, terjadi hal serupa. Ukuran makro ekonomi yang lebih baik, tidak terlihat pada aspek tampilan mikro. Daya beli masyarakat melambat, konsumsi sebagai sendi penggerak roda ekonomi mulai tertahan, disisi lain indikator makro nampak solid dan baik secara fundamental.

Pembangunan infrastruktur nampak mengemuka, namun kas negara kosong. Penerimaan pajak jauh dari ekspektasi target, lalu subsidi dicabut dan masyarakat dalam golongan yang luas menjadi objek sasaran target pajak selanjutnya.

Hukum seolah bisa berkilah untuk mereka yang kuat dalam posisi politik dan ekonomi, namun tajam menghunus bagi mereka yang lemah tidak berdaya. Pada titik tersebut, kita akan melihat kemampuan dalam aspek kepemimpinan kenegaraan mengelola masalah yang timbul.

Situasi kita saat ini sudah berada dalam tendensi untuk masuk pada kategori krisis, dimana terdapat realita yang berbeda antara harapan dan kenyataan. Kondisi krisis terjadi manakala realitas empirik yang sesuai atas kondisi sejatinya, bertolak belakang dari realitas simbolik yang tampil dipermukaan.

Wajah penuh senyum itu menyembunyikan kekecewaan, apa yang tampak kemuka bukanlah bentuk dari yang sebenarnya berada dalam dasar hati.

Krisis memiliki perlekatan dengan legitimasi, dan hal ini bersambungan dengan trust yang dimaknai sebagai bentuk kepercayaan. Problemnya kita berada dilingkup abad informasi terintegrasi dalam kehidupan digital, yang dikenal sebagai era post truth.

Kali ini adalah masa dimana reproduksi ide yang bohong nan palsu berkeliaran diantara berbagai informasi yang tersedia setiap harinya, sehingga memupuk rasa ketidakpercayan dan pesimisme. Runtuhnya kepercayaan dapat memuncak sampai pada tahap tertinggi yakni hilangnya legitimasi, dimana faktor pengaruh atas kekuasaan yang dimiliki juga menjadi terkikis.

Krisis adalah periode untuk melakukan evaluasi atas permasalahan yang mencuat. Ilmu manajemen krisis, akan terkait dengan kemampuan mengidentifikasi sekaligus menyelesaikan masalah dan mengkomunikasikan solusi yang diambil.

Apakah kita sampai pada tahap krisis nan akut? Mungkin perlu survey spesifik atas tingkat kepercayaan masyarakat perposisi saat ini. Tapi agaknya secara common sense belumlah tampak ke permukaan. Periode pra krisis ditandai dengan instabilitas, perbedaan sudut pandang terjadi, meski kerapkali masih bisa diakomodasi secara damai melalui campur tangan berbagai pihak.

Lalu bagaimana kita mampu membentuk resolusi damai dari situasi pra krisis ini agar terhindar ke fase lanjutan krisis yang lebih luas? Dalam hal tersebut, pemerintah harus dapat mendorong realitas empirik yang dirasakan langsung oleh masyarakat mendorong terciptanya kepercayaan disamping memastikan realitas simbolik sebagai tampilan dipermukaan mendukung secara sinergis tingkat kepercayaan yang bertambah tersebut.

Realitas empirik harus dibentuk pada level terbawah, menghindari terciptanya kegaduhan, memastikan aspek ekonomi sosial politik ditingkat lingkungan terkecil secara administratif. Sementara itu, realitas simbolik bermain diranah kanal komunikasi arus utama, peran pers dan kemampuan kehumasan pemerintah menjadi tolak ukur.

Pada tataran praktis, realita empirik harus diperkuat dengan mengoptimalisasi peran aparatur daerah bersambung dengan realitas simbolik yang dapat dicitrakan melalui kepemimpinan ditingkat pusat. Disisi yang radikal, hal yang harus dapat pastikan adalah terjaminnya distribusi kesejahteraan secara merata, sehingga kemakmuran dan keadilan menjadi milik bersama secara nyata dan bukan sekedar samar semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun