Situasi kita saat ini sudah berada dalam tendensi untuk masuk pada kategori krisis, dimana terdapat realita yang berbeda antara harapan dan kenyataan. Kondisi krisis terjadi manakala realitas empirik yang sesuai atas kondisi sejatinya, bertolak belakang dari realitas simbolik yang tampil dipermukaan.
Wajah penuh senyum itu menyembunyikan kekecewaan, apa yang tampak kemuka bukanlah bentuk dari yang sebenarnya berada dalam dasar hati.
Krisis memiliki perlekatan dengan legitimasi, dan hal ini bersambungan dengan trust yang dimaknai sebagai bentuk kepercayaan. Problemnya kita berada dilingkup abad informasi terintegrasi dalam kehidupan digital, yang dikenal sebagai era post truth.
Kali ini adalah masa dimana reproduksi ide yang bohong nan palsu berkeliaran diantara berbagai informasi yang tersedia setiap harinya, sehingga memupuk rasa ketidakpercayan dan pesimisme. Runtuhnya kepercayaan dapat memuncak sampai pada tahap tertinggi yakni hilangnya legitimasi, dimana faktor pengaruh atas kekuasaan yang dimiliki juga menjadi terkikis.
Krisis adalah periode untuk melakukan evaluasi atas permasalahan yang mencuat. Ilmu manajemen krisis, akan terkait dengan kemampuan mengidentifikasi sekaligus menyelesaikan masalah dan mengkomunikasikan solusi yang diambil.
Apakah kita sampai pada tahap krisis nan akut? Mungkin perlu survey spesifik atas tingkat kepercayaan masyarakat perposisi saat ini. Tapi agaknya secara common sense belumlah tampak ke permukaan. Periode pra krisis ditandai dengan instabilitas, perbedaan sudut pandang terjadi, meski kerapkali masih bisa diakomodasi secara damai melalui campur tangan berbagai pihak.
Lalu bagaimana kita mampu membentuk resolusi damai dari situasi pra krisis ini agar terhindar ke fase lanjutan krisis yang lebih luas? Dalam hal tersebut, pemerintah harus dapat mendorong realitas empirik yang dirasakan langsung oleh masyarakat mendorong terciptanya kepercayaan disamping memastikan realitas simbolik sebagai tampilan dipermukaan mendukung secara sinergis tingkat kepercayaan yang bertambah tersebut.
Realitas empirik harus dibentuk pada level terbawah, menghindari terciptanya kegaduhan, memastikan aspek ekonomi sosial politik ditingkat lingkungan terkecil secara administratif. Sementara itu, realitas simbolik bermain diranah kanal komunikasi arus utama, peran pers dan kemampuan kehumasan pemerintah menjadi tolak ukur.
Pada tataran praktis, realita empirik harus diperkuat dengan mengoptimalisasi peran aparatur daerah bersambung dengan realitas simbolik yang dapat dicitrakan melalui kepemimpinan ditingkat pusat. Disisi yang radikal, hal yang harus dapat pastikan adalah terjaminnya distribusi kesejahteraan secara merata, sehingga kemakmuran dan keadilan menjadi milik bersama secara nyata dan bukan sekedar samar semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H