Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Seven Eleven dan Innovator's Dilemma

26 Juni 2017   21:36 Diperbarui: 28 Juni 2017   18:27 2626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebangkrutan Seven Eleven Indonesia menjadi sebuah tajuk yang menarik untuk dibahas secara mendalam dalam aspek strategi bisnis. Pengembangan konsep waralaba retail internasional itu di tanah air sempat digadang sebagai bentuk inovasi dengan terobosan paling atraktif.

Bagaimana tidak, di bawah Modern Group yang menjadi pemegang lisensi FujiFilm, maka upaya merangsek ke sektor retail modern dilakukan sebagai upaya konversi dalam kerangka utilisasi atas fix asset studio foto Fuji yang tersebar secara nasional saat tengah mengalami kelesuan bisnis fotografi.

Hal itu, berdampak secara langsung bagi Modern Group, yakni merubah arah haluan bisnis dari sebelumnya sebagai pemain raksasa di bidang kamera dan fotografi, yang kemudian goyah akibat dampak digitalisasi, kemudian beralih memasuki sektor modern ritel yang ditopang dengan pertumbuhan potensi konsumsi kelas menengah nasional secara aktual.

Alhasil, relasi yang telah tercipta sebelumnya akan pengelolaan brand FujiFilm menjadi sebuah modal sebagai referensi bagi Modern Group, untuk mempermudah langkahnya mendapatkan lisensi waralaba peritel Seven Eleven yang juga berasal dari negeri matahari terbit tersebut.

Bahkan, tidak ayal kemudian Sevel Eleven menjadi backbone dari nilai kontribusi yang dihasilkan melalui lini retail modern secara dominan atas pencapaian hasil bisnis konsolidasi. Perolehan nilai penjualan Seven Eleven kemudian bertengger di puncak, menggeser hasil lini bisnis fotografi.

Sekurangnya 70% pendapatan usaha keseluruhan, diperoleh melalui Seven Eleven. Hebatnya lagi, konsep Seven Eleven Indonesia menjadi pengusung awal model Convenience Store. Model bisnis ini mengedepankan ruang ritel, yang dikombinasikan dengan public space yang nyaman untuk berkumpul, dan hal tersebutlah yang menjadi kelebihan utama Seven Eleven. Bahkan menjadi pembeda dari segmen ritel lain yang telah lebih dulu eksis sebelumnya.

Tidak hanya itu, ibarat menjadi pemicu, Seven Eleven menciptakan budaya hangout yang kemudian ditiru pelaku sejenis dengan model yang tipikal. Tapi sulit mengejar Seven Eleven saat itu. Keterbatasan gerak pengembangan tidak menjadi halangan bagi Seven Eleven. Pengaturan perizinan atas jarak modern ritel dan zonasi wilayah pasar tradisional dimoderasi dengan dalih porsi retail yang tidak dominan hanya 30% atas total luas store, di mana proporsi terbesarnya dikontribusi dari hasil penjualan makanan dan minuman yang berkonsep fresh food.

Tidak tanggung lagi, bahkan dalam pengembangan jenis menu, varian terkait dan kepastian rantai pasokan pun dikembangkan kerja sama spesifik dengan penyedia jasa yang terpilih dari negara asalnya. Ketatnya kompetisi menghantam keras bisnis yang dikelola Seven Eleven. Aturan pelarangan penjualan minuman beralkohol disebut menjadi pembuka kegagalan bisnis lanjutan Seven Eleven Indonesia.

Meski tidak diketahui persis nilai total penjualan minuman beralkohol, tetapi tentu hal tersebut tampaknya bukanlah menjadi penyebab utama. Berdalih diseputar regulasi adalah alasan atas kegagalan yang dihadapi. Dalam sebuah siklus bisnis, regulasi kerap justru menimbulkan inovasi sebagai bentuk adaptasi parapihak yang bergelut di kalangan dunia bisnis. Jadi regulasi bukanlah sebuah tema utama.

Perang Bisnis Model pada Puncak Kompetisi
Pelajaran berharga atas studi kasus Seven Eleven tentu dapat dikorelasikan dengan konsistensi strategi bisnis yang dikembangkannya. Di samping itu, dapat pula dilihat pada perubahan bisnis dari pengembangan pusat perbelanjaan (mal), sebagai barometer dari industri yang tipikal. Serta tentu saja, patut pula dicatat strategi bertahan yang dipergunakan atas kompetitor bisnis ritel modern yang ternyata kemudian tetap mampu bertahan.

Seven Eleven yang sebelumnya bak Putri Cantik, kini telah kembali menjadi kisah Si Upik Abu. Sempat menjadi kajian strategi bisnis atas bisnis model yang dipilihnya, kini menjadi kajian pula atas kejatuhannya.

Beberapa catatan yang mungkin menjadi menarik dan relevan perlu mendapatkan perhatian khusus dalam tinjauan atas Seven Eleven Indonesia. Setidaknya ada beberapa hal terkait seperti;

Pertama: tidak konsisten dalam arah pengembangan jaringan melalui utilisasi idle asset lokasi FujiFilm, sehingga kemudian mencari lokasi baru dengan skema sewa lahan yang tentu berkonsekuensi terhadap initial cost investasi yang semakin bertambah besar dalam upaya melakukan pertumbuhan.

Kedua: berkaca dari pelaku jejaring ritel modern yang kemudian melakukan pengembangan convenience store dengan basis retail store yang telah dimiliki, sehingga dimungkinkan terjadinya subsidi silang antar unit usaha secara sinergis. Tentu hal tersebut berbeda dengan Seven Eleven yang harus men-generate revenue langsung dari bisnis pokoknya yakni convenience store semata.

Ketiga: strategi Seven Eleven yang hendak mendorong lapis konsumen dari kalangan kelas menengah dengan wants (pilihan atas keinginan) yang melampaui needs (kebutuhan). Problemnya kelas menengah bukanlah kelompok konsumen loyal nan fanatik, melainkan mudah berpindah dengan mengandalkan searching and pricing sebagai modal utama dalam perilaku konsumsinya. Hal ini tentu butuh waktu, proses culture shifting tentu membutuhkan waktu dan proses yang tidak singkat.

Keempat: bagi kompetitor ritel modern yang telah eksisting, perilaku hangout yang diciptakan Seven Eleven diakomodasi dengan membentuk brandbaru, atau melakukan eskalasi atas lokasi retail yang telah dimiliki dengan menambahkan aksesoris akses internetdan set up kursi serta meja untuk berkumpul. Biayanya jelas lebih murah dibandingkan Seven Eleven yang harus mempersiapkan keseluruhan perangkat bisnisnya pada awal permulaan.

Kelima: proses adaptasi berjalan lamban, gelagat akan penurunan pola konsumsi convenience store tidak terbaca secara cermat dan cepat. Hal ini pula yang saat ini membuat sejumlah malldi Ibukota kini mengutamakan 60% space-nya diperuntukan bagi ruang hiburan dibanding tenant retail.

Karena mal menghitung potensi bisnis yang timbul atas crowd yang dihasilkan melalui pembentukan pusat hiburan, seperti tempat bermain anak, ruang tunggu yang nyaman, spot selfie, hingga pilihan restoran yang semakin variatif dan menarik. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi gelagat penurunan eksposure transaksi ritel yang juga tengah berhadapan dengan pola belanja via internet.

Keenam: meski perlu kajian lebih lanjut, skema convenience store disebut membuat jebakan bagi kesuksesan Seven Eleven di tahap awal, antusiasme pada awal kemunculannya tidak berkorelasi dengan pertumbuhan penjualan.

Keriuhan atas lokasi Seven Eleven dengan segala fasilitas yang disediakan, ternyata tidak berbanding lurus dengan minat untuk melakukan pembelian di lokasi ritel maupun food and beverages yang dimilikinya, termasuk ekspektasi atas pembelian berulang (repeated buying).

Ketujuh: formula pemasaran Seven Eleven tidak disusun secara mendalam. Fresh food adalah pilihan menarik, tetapi berpotensi menjadi waste bila tidak laku dijual, sehingga menjadi sumber pemborosan.

Pilihan untuk stocking fresh food di outlet harusnya disusun berdasarkan pola historical pembelian yang telah dimiliki sebelumnya. Satu hal lagi, fresh food membutuhkan biaya ekstra pada penyediaannya, dan hal ini jelas saja berkorelasi dengan harga jualnya produk tersebut.

Hal ini menandaskan bahwa konsep dalam model bisnis harus diimbangi dengan upaya dalam pencapaian keuntungan, bila tidak maka hal tersebut dapat dilakukan hanya dengan skema supporting resources yang dapat diambil dari lini bisnis lain dalam sebuah group usaha.

Secara keseluruhan, kajian sukses turn around Modern Group melalui Seven Eleven Indonesia mengalami stagnasi yang berujung pada penutupan seluruh gerai yang dimilikinya, bahkan dibumbui dengan buntunya negosiasi penawaran Seven Eleven Indonesia pada Group Charoen Pokphand akibat ketidaksetujuan atas proposal bisnis konglomerasi asal Thailand tersebut.

Regulasi tentu tidak bisa ditempatkan sebagai pemicu kegagalan. Pada banyak kasus, restriksi akibat regulasi justru menimbulkan inovasi baru yang dieksplorasi. Bisa jadi, Seven Eleven Indonesia belum sampai pada tahap tersebut, karena masih terkagum dengan inovasi hasil ciptaan mereka sebelumnya. Sehingga dengan demikian, inovasi model bisnis baru urung dilaksanakan sebagai akibat potensi kanibalisasi atas produk bisnis model yang telah ada pada saat ini.

Hal ini pula yang dikenal sebagai Innovator's Dilemma. Kerap serangan pada kompetisi bisnis yang ketat, terjadi pada arah dan indikator yang tidak terduga sebelumnya. Ini adalah era Disruptive yang penuh dobrakan serta hentakan yang tidak terprediksi sebelumnya. Juara hari ini belum tentu menjadi kampiun selamanya, sebuah babak baru dari instabilitas bisnis yang perlu dicermati dari waktu ke waktu. Welcome to the Jungle!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun