Menyedihkan! Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Penurunan rerata hasil UNBK -Ujian Nasional Berbasis Komputer kemudian dikorelasikan dengan peningkatan nilai integritas bagi penyelenggaraan ujian nasional.
Hal tersebut, kemudian seolah memberi gambaran akan terjadinya kecurangan yang terjadi pada periode ujian nasional sebelumnya.
Benar, bahwa terdapat kecurangan semisal kebocoran soal dan kunci jawaban yang tertangkap tangan, tetapi generalisasi ditingkat yang lebih besar bukanlah sebuah langlah bijaksana.
Evaluasi terpenting dari sebuah pelaksanaan kegiatan adalah perumusan pola perbaikan bagi agenda lanjutan dikemudian hari, dalam istilah manajemen dikenal sebagai continous improvement.
Bagaimana menempatkan perubahan secara berkelanjutan ini dapat dilaksanakan? Tentu dengan melihat multifaktor pembentuk terjadinya penurunan nilai UNBK.
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi kontributor dari situasi tersebut diantaranya:
Pertama: merubah kebiasaan, habbit shifting memang menjadi persoalan. Dari paper test menjadi computer test bukan sekedar memindahkan format soal, tetapi juga beradaptasi dengan metode menjawabnya.
Skema paperless yang ditengarai efisien dalam penggunaan resources terkait, tidak serta merta kemudian menghasilkan dampak positif bagi hasil kegiatan yang dilakukan.
Efektif dan efisien terjadi pada proses yang dilakukan, tidak berkorelasi dengan hasil atas output nilai ujian yang didapatkan.
Kedua: mentalitas, bagi beberapa sekolah yang sudah membiasakan diri dengan pola computer test, maka mentalitas peserta didik telah terbentuk.
Fase adaptasi telah terjadi, masalahnya ada disekolah yang sama sekali menggunakan computer test hanya pada saat ujian nasional berlangsung.
Alhasil kelabakan. Prinsip utama teori Charles Darwin tentang Survival of the Fittest menggambarkan bahwa kemampuan responsif atas adaptasi perubahan adalah penentu kemampuan bertahan hidup.
Jadi, para peserta didik yang saat ini diseluruh penjuru nusantara sesungguhnya menjadi pionir dari perubahan sistem secara nasional.
Â
Bayangkan dari sebelumnya bolak-balik kertas sambil menulis dibuku soal, kini harus menatap layar komputer. Serta dari semula bisa memenuhi soal yang belum terjawab diperiode waktu terakhir, kini secara sistem maka ketika waktu habis terjadi closed test otomatis.
Â
Ketiga: infrastruktur belum memadai. Komputer memang telah menjadi sebual hal yang umum dimasyarakat. Tetapi penyediaan infrastruktur terkait, khususnya di sekolah swasta kelas kecil dan gurem jelas merupakan sebuah masalah. Pembiayaan dan kesiapan ruang jelas menjadi problem pelik.
Pemerintah harus mendorong terdistribusinya bantuan bagi sekolah-sekolah yang lemah dalam konteks infrastruktur. Sayangnya, bantuan diberikan pada sekolah berprestasi, sementara prestasi berkenaan dengan fasilitas yang tersedia.
Betapa menderitanya sekolah-sekolah kecil. Prestasi sulit diraih karena keterbatasan  sumber daya yang dimiliki. Sementara bantuan mengalir bagi sekolah berklasifikasi besar yang telah layak secara infrastruktur.
Redistribusi bantuan secara berkeadilan perlu diterapkan bila ingin kualitas hasil pendidikan terbentuk secara keseluruhan.
Tudingan kecurangan jelas mengecewakan. Filosofi tudingan, satu jari menunjuk hidung orang lain, maka tiga jari berbalik menunjuk diri kita sendiri.
Bukan tidak mungkin ekspektasi kita terlalu tinggi dan tidak membumi, sementara kegiatan dalam proses belajar mengajar didunia pendidikan kita belum diarahkan menuju hasil yang diinginkan.
Ketika pungguk merindukan bulan, maka sang pungguk pun harus berupaya membentuk strategi yang tepat untuk mencapai rembulan impiannya, dan bukan dengan terus bermimpi dalam tidurnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H