Menarik! Tajuk Kompas tentang Perokok Membebani JKN (6/3) secara jelas memperlihatkan data korelasi dari kebiasaan merokok dengan dampak kesehatan yang dituai pada kemudian hari. Tidak hanya itu, kebiasaan merokok yang semakin meluas menjadi beban dalam anggaran kesehatan pada program Jaminan Kesehatan Nasional.
Sesungguhnya sosialisasi tentang dampak bahaya dari merokok, agak telah menjadi hal yang terlalu umum. Sesuatu yang kemudian nampak lazim menjadi sebuah hal yang biasa, sehingga mudah diabaikan bahkan dilupakan.
Himbauan pemerintah melalui promosi kesehatan pada kemasan rokok, bahkan 40% komposisi peringatan kesehatan dengan ilustrasi dampak merokok dimunculkan pada pembungkus rokok. Termasuk peraturan pembatasan ruang terbuka untuk merokok, hingga usulan pengaturan pelarangan beriklan dimedia massa nampaknya tidak menghentikan laju bisnis asap tembakau.
Bahkan dalam proses edukasi kesehatan secara terbalik dalam negative framing, pemerintah melakukan promosi testimonial penderita kanker pernafasan akibat merokok, pun nyatamya tidak menurunkan jumlah perokok
Ketika dimajukan usulan larangan rokok beriklan di media massa, tak pelak hal ini mengundang kontroversi. Salah satu hal yang dijadikan sebagai alasan, adalah dampaknya pada bisnis periklanan, yang menempatkan rokok sebagai 10 besar kontributor iklan nasional.
Ulasan dalam Headline Kompas membuka data, bahwa asumsi jumlah penghisap asap, dengan proyeksi konservatif atas prevalensi perokok yang tidak berubah seperti tahun 2013 yakni sebesar 36.3 persen, maka terdapat tidak kurang dari 70 penikmat tembakau.
Realitanya, tentu bisa lebih besar dari asumsi dasar tersebut!. Sesuai temuan Riset Kesehatan Dasar 2013, ketika jumlah perokok sekitar 48,4 juta orang, dengan rerata menghabiskan 12 batang perhari, setidaknya nilai bisnis ini bernilai Rp605 miliar/ hari dengan total omset tahunan mencapai Rp221 triliun.
Ironinya, industri rokok dijadikan tumpuan banyak hal, dianggap memberdayakan petani tembakau dan rantai pasokan bisnisnya. Kini industri rokok menjelma menjadi konglomerasi yang menguasai berbagai lini bisnis, tentu karena kapasitas finasialnya. Tidak hanya itu, industri rokok pun menjadi sponsor berbagai acara olahraga yang sudah tentu merupakan sebuah anomali.
Lebih jauh lagi, efek turunan yang ada dihilir industri rokok akan berakhir pada peningkatan pembiayaan kesehatan nasional. Peningkatan resiko kesehatan dapat dikalkulasi dengan jumlah batang rokok yang dihisap, denfan faktor pembobot adalah durasi lamanya periode merokok.
Gagal Paham
Paparan data yang terbuka tersebut, tentu bisa dirasionalisasikan. Pemerintah dalam hal ini perlu memiliki sikap yang tegas dalam memberikan perlindungan kesehatan secara proaktif. Konsekuensi kesehatan dari kebiasaan merokok terpapar pada seluruh organ manusia, termasuk dalam kategori penyakit katastropik, yakni penyakit berbiaya mahal dan beresiko tinggi.
Setidaknya pada 2016 diestimasu pembiataan penyakit katastropik meliputi jantung, gagal ginjal, kanker dan stroke mencapai Rp14.58 triliun atau 22 persen dari total pembiayaan kesehatan melalui JKN yang sebesar Rp67 triliun.
Kesungguhan pemerintah melindungi kesehatan penduduk dari bahaya merokok harus dinyatakan tegas dengan restriksi dan pembatasan ketat penjualan rokok.
Peningkatan perokok pemula, hingga ranah iklan rokok yang menyasar serta berdekatan dengan institusi sekolah sesungguhnya tengah berupaya membidik konsumen pemula yang akan menjadi lifetime customer akibat efek candu adiktif nikotin.
Membatasi penjualan, dapat diatur dengan peningakatan tarif cukai, tambahan pajak rokok, harga jual yang tinggi, hingga batas usia pembeli, termasuk pengetatan regulasi denda merokok diruang publik serta pembatasan ruang beriklan.
Problem utama dari fenomena industri rokok adalah gagal pahamnya para pengambil kebijakan untuk melihat fakta bahwa bangsa yang sakit dengan penyakit katastropik yang mendominasi akan menurunkan daya kompetisi bangsa, melemahkan kapasitas produktif bangsa, karena sumberdaya manusia yang sehat dan kuat adalah sarana berdayasaing dimasa depan.
Hal lain yang nampaknya harus diluruskan adalah disorientasi logika para pendukung industri rokok yang mencoba mencari dalih dengan berbagai rupa alasan. Pendukung penikmat asap kerapkali berdalih atas nama hak azasi dan melakukan perbandingan yang tidak setara.
Semisal, mencoba melakukan komparasi pada industri tidak sejenis, seperti otomotif. Toh keduanya menciptakan asap dan polusi, kenapa hanya rokok yang dibatasi?. Atau kenapa restoran padang tidak juga ditutup? Karena sama dampaknya bagi kesehatan, hal serupa dengan merokok?
Lebih jauh lagi, bagaimana nasib petani dan mereka yang berharap ekonomi dari industri rokok, dan bukankah rokok menjadi medium masyarakat bawah untuk menikmati hidup?.
Jelas logika yang dipakai asimetris. Rokok, kendaraan dan restoran padang tentu memiliki esensi yang berbeda. Hal itu diletakkan pada tujuan dasarnya. Kendaraan bagi sektor transportasi, restoran padang untuk konsumsi, sedang rokok hanya menjadi penyela waktu.
Bahkan menghisap rokok baik sedikit maupun banyak, akan tetap berdampak bagi kesehatan, karena memang linting tembakau tersebut mengandung berbagai zat berbahaya bagi kesehatan tubuh. Jadi tujuan dasarnya memang berbeda, merokok tidak memberikan dampak langsung bagi tubuh dan aktifitas kita, hanya menjadi imajinasi kita akan relaksasiyang sesuguhnya berbahaya.
Dalam konteks ilmu kesehatan masyarakat, maka problem atas defisit kesehatan komunitas ini, meningkatkan faktor risiko kesehatan yang dapat mengganggu kesejahteraaan masyarakat. Situasi tersebut, harusnya dapat ditangani dengan program terstruktur melalui pemberdayaan serta dukungan komunitas.
Nah dibanding harus bersilat lidah menghadapi pendukung penikmat asap, usulan yang terbaik mungkin dapat mengajak partisipasi masyarakat berpikir, khususnya perokok melalui program perokok tidak dijamin BPJS Kesehatan. Tentu saja, merokok meningkatkan angka kerentanan penyakit dan dalam asuransi sosial, penyakit perokok ditanggung oleh premi orang lain.
Kalau tidak dibentuk program sistematik yang mengajak para perokok untuk kembali dalam normalitas hidupnya, maka sulit membayangkan besar tanggungan kesehatan yang harus dipersiapkan dalam membayar pasien katastropik akibat merokok. Sementara disisi yang lain, para industriawan rokok tercatat namanya sebagai mereka yang terkaya di negeri ini. Ya tuan, Rokok Mu Membunuh Ku, kami yang membayar tagihan kesehatan atas setiap keuntungan yang kau peroleh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H