Pada pembukaan Forum Rektor Indonesia 2017 yang diadakan pekan lalu, salah satu uraian yang tersampaikan adalah terjadinya kondisi ketimpangan atas peminatan konsentrasi ilmu sains-teknik dibandingkan ilmu sosial-humaniora.Â
Diketahui bahwa mahasiswa yang meminati program studi rumpun sosial-humaniora mencapai lebih dari 65% dari total hampir 5 juta mahasiswa. Hal ini, jelas jauh berbeda jika dibandingkan dengan Korea Selatan, yang menempatkan peminatan ilmu teknik mencapai 70% dari total mahasiswa.
Rincian peta distribusi mahasiswa di perguruan tinggi adalah sebagai berikut: 50.7% sosial-humaniora, pendidikan 14.7%, seni budaya 0.4%. Sedangkan, pada bagian yang terpisah, peminat bidang keinsiyuran 16.1%, pertanian 5.3%, kedokteran & kesehatan 3.9% serta sains 8%.
Meski demikian, kita juga mendapatkan informasi tambahan, khususnya berkaitan dengan korelasi pendidikan dalam upaya mengurangi kesejangan ekonomi. Seperti diketahui, indeks rasio gini yang mengindikasikan nilai ketimpangan sosial mengalami penurunan dari 0.402 (September 2015) menjadi 0,394 (September 2016).Â
Perubahan indeks gini tersebut, ditengarai sebagai akibat dari penguatan peran dan program pendidikan dalam mendorong mobilitas sosial. Bila demikian, maka apa yang sebaiknya dikonklusikan sebagai formula strategi agar peminatan ilmu sains-teknik lebih menjadi pilihan bagi para mahasiswa.
Corak Pembangunan, Industrialisasi dan Keilmuan
Salah satu hal yang nampaknya tertinggal dalam fase pembangunan kehidupan bernegara kita adalah padamnya era industrialisasi. Hal ini terlihat dari lemahnya industri dalam negeri, kekuatan terbesar sektor ekonomi nasional ditopang oleh pengelolaan sumber daya alam, dan hal itu masih menjadi tulang punggung penggerak perekonomian.
Bidang keilmuan sangat berkaitan dengan jenis produksi yang melingkupinya. Hal itu pula yang membuat misalnya, peminatan mahasiswa di Korea Selatan sekitar 70% terkonsentrasi di bidang teknik. Hal ini ditopang oleh struktur industrinya yang sudah pasti menyerap potensi keilmuan tersebut secara tepat guna.
Bagaimana di Indonesia? Kendala terbesarnya adalah faktor back end, di bagian akhir tidak tersedia cukup posisi pada lapangan pekerjaan di bidang sains-teknis, terutama untuk menjadi stimulus bagi mahasiswa dalam menekuni bidang ilmu tersebut.
Banyak mahasiswa bidang sains-teknik malah beralih kerja ke bidang ilmu yang seharusnya diperuntukan bagi mahasiswa sosial-humaniora, hanya karena asumsi bahwa kemampuan atas rasionalitas mahasiswa lulusan sains-teknik yang lebih baik.Â
Tidak salah memang, bila corak produksi kita masih tertahan menjadi sekedar trade business (usaha perdagangan) dan tidak berkaitan dengan aspek produksi langsung, yang berupaya membentuk produk akhir, maka memang mayoritas pekerjaan yang dibutuhkan adalah sektor sosial-humaniora, dengan tugas mengadministrasikan dan membentuk pola perdagangan bukan pola produksi.
Setidaknya ada beberapa tahap yang dapat dilakukan Departemen Pendidikan Tinggi dalam mendorong peminatan ilmu sains-teknik menjadi sebuah arus utama atau minimal setara dari ilmu sosial-humaniora.Â
Pertama:Â insentif pendidikan sains-teknik. Ilmu di bidang ini jauh lebih mahal karena mengakseptasi biaya praktek, dan peran pemerintah adalah memfasilitasi pembiayaan pelatihan yang mendorong kompetensi.
Kedua:Â menciptakan inkubator bisnis sains-teknik yang berpusat di perguruan tinggi, sebagai cikal bakal dari pengembangan industri dalam lingkup dan skala mikro, yang akan dapat menjadi model industri di tingkat nasional nantinya.
Ketiga: memberikan ruang terbuka aplikasi bisnis di bidang sains-teknik guna mendukung pembangunan kembali era industrialisasi, yang sempat padam ketika krisis moneter terjadi. Kita tidak pernah menjadi bangsa produsen sehingga kuantitas sumber daya manusia dihitung sebagai market potensial menjadi target konsumen semata. Peran swasta nasional perlu dilibatkan.
Keempat: skema link and match perlu disusun dalam grand design pembangunan daya kompetisi bangsa ini dikancah dunia. Di era globalisasi, di mana suatu negara akan saling terhubung dengan negara lain, kita perlu memastikan dasar kekuatan bersaing kita. Pendidikan dan industri adalah penggerak roda yang harus mendapatkan dukungan pemerintah dalam menguatkannya.
Apakah dengan demikian, berarti ilmu sosial-humaniora menjadi tidak berarti dibandingkan dengan sains-teknik? Tentu saja tidak, karena dalam sendi pembangunan berbangsa kita tetap membutuhkan para ahli sosial-humaniora, bahkan pada fase produksi perlu ada tahap administrasi hingga distribusi.
Sebaiknya data yang telah terhimpun tersebut dalam Forum Rektor Indonesia menjadi acuan dalam pembangunan pendidikan tinggi kita, yang seharusnya dapat bersinergi dengan dunia kerja secara bersesuaian. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H