Setidaknya ada beberapa tahap yang dapat dilakukan Departemen Pendidikan Tinggi dalam mendorong peminatan ilmu sains-teknik menjadi sebuah arus utama atau minimal setara dari ilmu sosial-humaniora.Â
Pertama:Â insentif pendidikan sains-teknik. Ilmu di bidang ini jauh lebih mahal karena mengakseptasi biaya praktek, dan peran pemerintah adalah memfasilitasi pembiayaan pelatihan yang mendorong kompetensi.
Kedua:Â menciptakan inkubator bisnis sains-teknik yang berpusat di perguruan tinggi, sebagai cikal bakal dari pengembangan industri dalam lingkup dan skala mikro, yang akan dapat menjadi model industri di tingkat nasional nantinya.
Ketiga: memberikan ruang terbuka aplikasi bisnis di bidang sains-teknik guna mendukung pembangunan kembali era industrialisasi, yang sempat padam ketika krisis moneter terjadi. Kita tidak pernah menjadi bangsa produsen sehingga kuantitas sumber daya manusia dihitung sebagai market potensial menjadi target konsumen semata. Peran swasta nasional perlu dilibatkan.
Keempat: skema link and match perlu disusun dalam grand design pembangunan daya kompetisi bangsa ini dikancah dunia. Di era globalisasi, di mana suatu negara akan saling terhubung dengan negara lain, kita perlu memastikan dasar kekuatan bersaing kita. Pendidikan dan industri adalah penggerak roda yang harus mendapatkan dukungan pemerintah dalam menguatkannya.
Apakah dengan demikian, berarti ilmu sosial-humaniora menjadi tidak berarti dibandingkan dengan sains-teknik? Tentu saja tidak, karena dalam sendi pembangunan berbangsa kita tetap membutuhkan para ahli sosial-humaniora, bahkan pada fase produksi perlu ada tahap administrasi hingga distribusi.
Sebaiknya data yang telah terhimpun tersebut dalam Forum Rektor Indonesia menjadi acuan dalam pembangunan pendidikan tinggi kita, yang seharusnya dapat bersinergi dengan dunia kerja secara bersesuaian. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H