Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menatap dan Menata Masa Depan Perguruan Tinggi Swasta

13 Desember 2016   17:11 Diperbarui: 14 Desember 2016   12:50 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Burke Classroom

Tidak dapat dipungkiri, salah satu yang masih dipandang sebelah mata dari perguruan tinggi swasta, adalah kualitas pendidikan yang diselenggarakan. Berbagai kasus jual-beli ijazah hingga gelar akademik palsu menodai institusi perguruan tinggi swasta. 

Sejenak kemudian muncul pertanyaan besar, kemana arah lanskap perguruan tinggi swasta kelak di kemudian hari? Ditutup secara sistematik, atau mati perlahan dengan sendirinya sesuai dengan hukum seleksi alam?

Sejatinya, perguruan tinggi swasta adalah pelengkap dari institusi pendidikan negeri milik pemerintah, yang tidak dapat menampung kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Dalam sebarannya, maka perguruan tinggi swasta dapat dikategorikan dalam klasifikasi kelas besar, menengah dan kecil (baca: gurem).

Bila kemudian berkaca dari berbagai kasus tercorengnya dunia akademik karena kampus abal-abal, maka hampir populasi yang tersangkut kasus tersebut masuk dalam kategori kelas perguruan tinggi swasta yang terakhir, yakni kecil alias gurem.

Pada beberapa dasar rasionalisasi tertentu, kemungkinan penyelenggara pendidikan swasta gurem nan abal-abal tersebut mengail di celah sempit dari demand gelar akademik masyarakat. Maka hukum ekonomi menyatakan demand induced supply, penyedia layanan kemudian memanfaatkan peluang dari potensi yang terjadi.

Bisa dipastikan, pendirian sebuah badan pendidikan tinggi swasta tentu pada awalnya tidak ditujukan untuk mencari keuntungan dalam konteks komersil, tetapi dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Meski demikian, kebutuhan untuk sustain bagi keberlangsungan operasional pendidikan tinggi itu sendiri tetap akan diperlukan.

Nah bila demikian, apa yang sebaiknya yang menjadi metode tata kelola perguruan tinggi swasta agar sifat komplementer dari perguruan tinggi dapat dilangsungkan? Peran pembinaan dari pemerintah tentunya dapat dilaksanakan dengan berbagai insentif, terutama bagi upaya peningkatan kualitas pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh inisiatif swasta.

Kita tentu tidak melihat dalam kacamata pendidikan yang telah masuk dalam kategori besar bahkan konglomerasi, di mana para pengusaha berkecimpung masuk  dunia pendidikan. Titik fokusnya terletak pada penataan perguruan tinggi swasta gurem, apakah menunggu mati suri karena persaingan, atau ditutup karena berbagai persyaratan yang tidak mungkin dipenuhi sebagai ketentuan dari peraturan.

Sulitnya mengatur arus kas bagi kampus kecil merupakan bagian dari multiplier effect dari sulitnya mencari mahasiswa, yang disebabkan karena ketatnya persaingan antar institusi untuk mendapatkan jumlah mahasiswa baru. Minimnya biaya promosi mengakibatkan kampus gurem bermain dalam keunggulan kemudahan administratif dan biaya perkuliahan yang murah.

Seringkali kampus gurem terpaksa menjauh, terutama dari peta zona red ocean untuk masuk ke blue ocean yang ada di berbagai daerah di luar kota, untuk sekadar menggaet mahasiswa yang tidak seberapa jumlahnya. Bila sudah demikian, survival mode dari kampus kecil ini menjadi lebih tinggi, termasuk salah satunya yang salah kaprah adalah mendirikan kelas jauh hingga jual beli gelar.

Ditutup atau dibiarkan mati? Tentu sebaiknya, solusi terbaik adalah merawat dan memperbaiki. Keberagaman perguran tinggi swasta nan kecil, harusnya dijadikan sebagai sarana untuk menjangkau lapisan masyarakat, yang selama ini tidak menjadi sasaran perguruan tinggi negeri dan swasta besar.

Membangun inovasi dan berkolaborasi adalah bagian terpenting dalam abad digital, yang terus mengalami perubahan secara dinamis dari waktu ke waktu. Ketika perguruan tinggi swasta gurem dimatikan secara sistematik akibat keterbatasan lahan perkuliahan hingga ketiadaan ijin mendirikan bangunan secara fisik, maka sesugguhnya kita telah mematikan imajinasi tentang masa depan bangsa.

Tentu menarik bila kitakembali mengutip Einstein si penemu teori relativitas, “Logic will get You from A to B, but Imagination will take You Everywhere”. Dan kini kita tengah menggunakan pendekatan logika yang tidak imajinatif, dalam menumbuhkan ilmu pengetahuan yang tidak berbatas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun