Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ambigu Kualitas dan Perizinan Fakultas Kedokteran

28 April 2016   14:34 Diperbarui: 28 April 2016   17:34 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: ShutterstockPembukaan 8 fakultas kedokteran baru beberapa waktu lalu disikapi dengan penolakan oleh Konsil Kedokteran dan Ikatan Dokter Indonesia. Apa pangkal masalahnya? Lalu bagaimana solusi yang mumpuni? Mengingat pada periode yang sama, implementasi amanat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Program BPJS Kesehatan sedang berlangsung.

Pada masa mendatang, seiring integrasi JKN di 2019 secara nasional, jelas membutuhkan sumber daya terkait, termasuk dokter. Berdasarkan data, (Kompas, 28/4) diketahui bahwa terdapat 75 fakultas kedokteran di Indonesia, di mana terdapat variasi peringkat akreditasi, 21% berkategori A, 43% menyandang predikat B, sedangkan 36% sisanya terakreditasi C.

Menilik hasil uji kompetensi profesi kedokteran, rentang tingkat kelulusan masihlah sangat lebar di antara 20-97%, dengan demikian diandaikan bila banyak lulusan dinilai kurang memadai. Pendek kata, terjadi penurunan kualitas output fakultas kedokteran, yang notabene akan menjadi garda terdepan dalam menjaga kondisi kesehatan masyarakat.

Lebih jauh lagi, dengan kuantitas populasi sekitar 250 juta jiwa, di mana rasio dokter secara ideal berada di angka 1:2.500 warga, terhitung 110.773 dokter yang telah ada diasumsikan berada di ambang yang sesuai dan normal. Sejatinya, profesi dokter, diakui sebagai entitas dengan otoritas mengambil keputusan medis, dan kerap bermuara pada layanan antara hidup ataupun mati. Dengan demikian, kualitas lulusan menjadi standar yang tidak bisa ditawar lagi.

Mencoba Membalik Premis

Pada beberapa alasan berkaitan dengan kualitas, hal ini jelas harus menjadi fokus dasar Kemenristekdikti, untuk mendorong peningkatan akreditasi C yang sebanyak 36% atas total jumlah fakultas kedokteran tersebut. Di sisi lain, kita melihat bahwa persoalan distribusi dokter masih bersifat konsentrik, berpusat di kota besar dan tidak merata di daerah terpencil serta terluar. Padahal, makna kesehatan berbangsa meliputi keseluruhan warga negara.

Kalau kualitas adalah ukuran dari fakultas kedokteran, bagaimana dengan fakultas lain? Semisal ekonomi, manajemen, bahkan ilmu sosial dan politik? Toh kualitas berlaku sama bagi semua. Bila kemudian berandai, jika lulusan ekonomi tidak berkualitas, yang terjadi adalah manipulasi; apabila lulusan ilmu politik tidak berkualitas, timbulah perilaku korupsi?

Secara bersamaan, kawasan Barat dan Timur Indonesia dan bukan di bagian Tengah, terbilang masih perlu membuka peluang bagi timbulnya minat lokal, yang diharapkan akan mengisi kebutuhan lokal. Terlepas dari motivasi pembukaan fakultas kedokteran adalah mengejar keuntungan dari penyelenggaraan pendidikan, instrumen yang harusnya dipersiapkan oleh negara adalah indikator yang mengukur peningkatan kualitas pendidikan kedokteran.

Sekadar menutup izin pembukaan fakultas untuk membatasi, tanpa melihat bahwa terdapat kebutuhan yang terjadi di beberapa daerah tentu bukan solusi. Program pemerataan tenaga lulusan kedokteran harus menjadi exit wayout. Terlebih mendorong peningkatan jumlah spesialis dan subspesialis dalam keahlian kompetensi medis, hal ini pun harus dirumuskan oleh pemerintah. Batas abu-abu, membuat celah terbuka dimanfaatkan oleh kepentingan para pihak.

Pemerintah harus tegas mengatur serta membentuk tata kesehatan nasional, mulai tingkat perguruan tinggi hingga relasinya dengan program kesehatan JKN. Peningkatan kualitas perguruan tinggi yang telah ada dimaknai dengan pembenahan dalam jumlah tenaga pengajar, maupun fasilitas serta kurikulum yang rigid, sembari melakukan pendistribusian tenaga dokter, ditambah peningkatan akses kompetensi khusus untuk dokter spesialis dan subspesialis.

Grand design kesehatan nasional harus terintegrasi sejak hulu hingga hilir, dan hal ini jelas membutuhkan peran pemerintah. Pihak swasta dalam hal ini tentu menjadi partner yang akan mendukung secara sinergis, terlebih bila pemerintah bersandar pada ukuran kualitas. Agaknya era globalisasi menjadi tabuh genderang bagi kita untuk memperkuat sumber daya manusia, dan di era tersebut bahkan bilapun terdapat ekses dokter yang berkualitas, hal tersebut dapat menjadi kekuatan bersaing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun