Maraknya kasus kampus ilegal dan perkuliahan bahkan hingga wisuda "abal-abal" sesungguhnya menandakan banyak permasalahan yang terjadi pada dunia pendidikan tinggi kita.
Orientasi akan gelar akademik menjadi sebuah keharusan, seolah menjadi penentu keberhasilan dalam status sosial maupun kepastian mendapatkan pekerjaan dikemudian hari. Kehausan gelar akademik perlu disikapi dengan bijaksana, khususnya dalam memperkuat kompetensi akademik dibalik gelar yang disandang tersebut.
Meski tidak sepenuhnya asumsi diatas tepat, namun tidak dipungkiri bila pendidikan dapat menjadi sarana dalam pergerakan kelas sosial di masyarakat. Disini evaluasi atas penyelenggaraan pendidikan tinggi kita harusnya ditempatkan.
Ibarat peribahasa, "menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri", maka kasus penutupan kampus karena ijin dan lulusan yang bodong, jelas memberikan stigma negatif akan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) secara umum.
Padahal peran PTS, tidak bisa dipandang sebelah mata dinegeri ini. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai amanat konstitusi, melibatkan partisipasi publik dalam hal ini sektor swasta.
Ketidakmampuan pemerintah dalam mempersiapkan akses dan infrastruktur pendidikan tinggi ditingkat nasional, dibarengi dengan inisiatif peran swasta. Hal yang terakhir harus dimaknai sebagai bentuk sumbangsih bagi upaya pencerdasan generasi anak bangsa.
Sesuai dengan lansiran Dikti, diketahui bahwa dari sekitar 4.408 Perguruan Tinggi di Indonesia sekitar 4.038 adalah PTS dibanding 370 PTN, dan PTS melibatkan serta lebih dari 160.170 tenaga dosen.
Dengan proporsi tersebut, mudah ditebak komposisi sebaran mahasiswa yang secara nasional berada diagregat 4.5 juta peserta didik tentu didominasi pada kelolaan di PTS. Tentu pembinaan menjadi sebuah bagian yang tidak bisa ditawar lagi, agar output dari kualitas lulusan PTS memiliki kemampuan berdaya saing, terlebih kini adalah era globalisasi dan fase implementasi MEA -Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Kampus Ilegal dan Dikotomi PTS-PTN
Tidak dipungkiri, bahwa pendirian yayasan sebagai penyelenggara kampus swasta memiliki ragam motif. Namun yang disayangkan bila hal tersebut kemudian membuat PTS hanya dianggap sebagai "angin lalu".
Klasifikasi PTS sendiri terdistribusi majemuk, ada yang besar bahkan konglomerasi hingga yang kelas "bawah". Sekali lagi, hendaknya hal ini dimaknai sebagai keterpanggilan sektor swasta untuk mendukung upaya pencerdasan bangsa, bukan sekedar mengumpulkan pundi kesejahteraan semata.
Problem internal yang dihadapi PTS tidaklah sedikit. Mulai dari penyediaan sarana prasarana, tenaga pengajar, hingga keharusan mencari peserta didik hingga pelaporan kegiatan perkuliahan, merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang tidak mudah.
Bahwa prinsip-prinsip ekonomi dalam penyelenggaraan PTS memang kerap menjadi masalah tersendiri. Sulitnya mendapatkan dosen yang berkualitas dengan "penghargaan" terbatas, bagaikan "mencari jarum ditumpukan jerami".
Belum lagi berbicara soal dukungan dana operasional yang dikelola dari biaya pendidikan para peserta didik, minimnya angka kepatuhan membayar kewajiban membuat PTS kerap melakukan "akrobatik keuangan" untuk tetap survive, perlu dicatat bila tidak semua yayasan memiliki kantung saku yang dalam, atau bahkan mempunyai diversifikasi bisnis yang beragam.
Bagaimana langkah bijak mengatasi persoalan kampus bodong nan abal-abal? Pemerintah harus turun tangan menertibkan, karena perilaku sedemikian dikategorikan penipuan dan memperburuk imej PTS itu sendiri.
Lalu akan seperti apa PTS ke depan? Pemetaan PTS berdasarkan kompetensi terkait perlu dilakukan secara rinci, melihat aspek pemenuhan kebutuhan bangsa ini agar memiliki kemampuan berdaya saing. Selain itu, pemberdayaan PTS sebagai partner PTN dalam agenda mencerdaskan kehidupan berbangsa.
Bila PTN mampu menetapkan basis kualitas input mahasiswa dengan indikator kecerdasan melalui mekanisme uji saringan masuk secara detail, PTS kerap berhadapan dengan kenyataan akan kesulitan mendapatkan peserta didik. Jelas bahwa PTS harus mandiri dan berdikari, tapi berperang dalam medan yang tidak seimbang kerap membuat PTS kelas menengah-bawah "kembang kempis" seolah "menghitung hari".
Perluas aksesibilitas pelatihan, beasiswa bagi tenaga dosen PTS, bantuan pemenuhan sarana pendidikan hingga sokongan arus kas perlu mendapat perhatian serius. Jangan sampai PTS yang dominasinya hingga 90% itu, hanya menjadi pelengkap penderita, dari sistem yang belum berkeadilan dalam upaya mencerdaskan serta menyejahterakan seluruh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H