Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menyoal Tuntutan DIB: JKN dan Reformasi Kesehatan

2 Maret 2016   13:37 Diperbarui: 2 Maret 2016   14:07 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demonstrasi yang digelar oleh Koalisi Dokter Indonesia Bersatu di depan Istana Negara-Jakarta pada pekan lalu, menarik untuk dicermati, sekaligus mendapatkan perhatian yang serius dari para pemangku kebijakan. Tuntutan yang diangkat, adalah perlunya dilakukan perubahan dalam format layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Implementasi JKN yan dilaksanakan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memang terbilang masih sangat muda. Namun, perlu dipastikan terdapat ruang tumbuh yang ideal, bagi program yang ditujukan bagi rakyat banyak tersebut. Hal ini sekaligus menjadi sebuah komitmen dari kepastian, akan keberlangsungan program JKN dikemudian hari.

Program BPJS Kesehatan yang kompleks tersebut, sejatinya memastikan pelayanan kesehatan berlaku universal bagi seluruh lapisan masyarakat. Problemnya turunan teknis memang belum siap dalam konteks detail implementasi. Bahkan dalam pengelolaan keuangan, berdasarkan estimasi ditahun 2015 terjadi defisit sekitar Rp5.8 triliun, terjadi mismatch penerimaan premi dan klaim yang diterima.

Nilai tersebut berpotensi untuk terus bertambah jika tidak dilakukan perubahan terkait. Bukan tanpa sebab para dokter kemudian “berteriak” akan persoalan pelaksanaan JKN. Dalam sudut pandang finansial, ketika layanan BPJS Kesehatan hendak memperluas aspek perlindungan ke sebanyak mungkin perserta dengan premi yang rendah, maka korelasi secara general menyebabkan tarif layanan menjadi lebih rendah dari posisi normalnya.

Logika dagang, dengan prinsip “makin banyak jadi makin murah” tidak sepenuhnya tepat dipergunakan pada kasus layanan kesehatan. Hukum ekonomi mengatur, bahwa tarif harusnya ditentukan berdasarkan kesepakatan dan tidak sepihak, terlebih lagi ukuran tarif harusnya dihitung dari biaya produksi yang dikeluarkan sebagai bentuk dari jasa pelayanan.

Pada ilmu kesehatan, konsep dasar yang dipergunakan bukanlah kalkulasi matematis. Kalau pusing maka masuk kategori masuk angin, dan dibayar sebesar obat masuk angin semata. Bagaimana bila ada kanker otak didalam kepala? Biayanya jelas lebih mahal karena tingkat kesulitan penanganan dan biaya pengobatan spesifiknya lebih mahal.

Kesehatan mengacu pada penentuan diagnosa yang tidak lain adalah sarana identifikasi dasar, dengan demikian hubungan sebab akibat dalam ilmu kesehatan tidak berlangsung linear tapi bisa sangat acak. Dengan demikian model casemix saat ini, sangat mungkin berbeda dari pola diagnosa yang sesuai bagi pasien.

Segera Perbaiki dan Libatkan Peran Swasta

Bagaimana pun program JKN adalah formasi ideal, sehingga perlu dilakukan koreksi berkesinambungan. Terdapat dua ektrimitas yang berbeda, pertama: defisit finansial pengelolaan JKN dan kedua: redahnya tarif layanan. Formulasi kedua ekstrimitas ini, kemudian bermuara pada kemungkinan pengabaian aspek keselamatan dalam pelayanan kesehatan. Sesuatu yang tentu berakibat fatal, karena berkonsekuensi pada hilangnya nyawa manusia.

Bagaimana aspek keselamatan menjadi prioritas sekunder? Jelas karena tarif pelayanan yang diberikan rendah, maka penyedia jasa perlu berhitung dengan cermat agar masih bisa “bernafas” mendapatkan keuntungan, dan hal ini menyebabkan penanganan kesehatan tidak berlangsung secara tuntas demi kesembuhan melainkan membentuk sikap “asal melayani seadanya”. Terlebih bila kemudian berkaca pada pelayanan di rumah sakit swasta, yang harus membiayai investasi dan kebutuhan operasionalnya tanpa subsidi pemerintah.

Dengan kelolaan BPJS Kesehatan yang 162 juta peserta dan melibatkan 9.811 puskesmas, 3.371 klinik pramata dan 1.746 rumah sakit di Indonesia maka memang kita tidak sedang bermain uji coba, karena dampaknya berbahaya. Dalam aspek keberlanjutan program JKN, maka pemerintah harus menutup defisit yang semakin menganga, sementara ditingkat penyedia layanan harus merasakan sulitnya mengatur biaya akibat pembayaran tarif yang rendah.

Lebih jauh lagi, evaluasi atas defisit yang terjadi saat ini, kemudian menempatkan penyedia layanan sebagai pelaku kecurangan alias fraud karena mempermainkan mekanisme coding dalam penentuan besaran tarif. Posisi ini jelas menempatkan secara berhadapan penyedia jasa layanan dengan BPJS Kesehatan sebagai pengelola dalam posisi saling curiga, dan walhasil bagi penerima layanan yakni pasien, hal ini berakibat pada pelayanan yang tidak maksimal.

Seperti apa bentuk penyelesaian terbaik? Alangkah baiknya penyedia layanan diajak serta dalam penentuan kesepakatan tarif, khususnya pihak swasta karena peran pemerintah untuk dapat memenuhi kebutuhan pelayanan nasional masih terbilang terbatas. Kemudian, hal yang paling utama adalah memastikan pelayanan kesehatan berlangsung optimal dengan keselamatan dan pemulihan sebagai tujuan utama.

Masih banyak evaluasi lain semisal upaya promotif dan preventif yang harus digencarkan, lalu kemudian merasionalisasi tarif premi kepesertaan sehingga lebih layak. Disisi lain, badan pengelola dapat pula mendorong agar peserta memiliki tanggung jawab pada kesehatan diri pribadi, dengan mengakseptasi pembayaran cost sharing bagi layanan yang diselenggarakan rumah sakit swasta.

Bahkan kita belum mengusik aspek kebijakan yang massif, seperti perlakuan insentif pajak, tarif listrik dan berbagai ekringanan yang menyebabkan partisipasi dokter dan rumah sakit wasta menjadi sepenuh hati ketimbang separuh hati. Semoga bisa dipahami dengan baik oleh para pengambil keputusan, sehingga kesehatan menjadi bagian yang semakin menguatkan bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun