Â
Seiring dengan kondisi ekonomi ditingkat nasional serta inernasional yang mengindikasikan kelesuan, maka salah satu hal yang diharapkan dapat memberikan rangsangan bagi timbulnya gairah ekonomi domestik melalui percepatan serapan anggaran pemerintah diberbagai sektor pembangunan.
Sayangnya, nampak jauh panggang dari api. Tingkat serapan belanja pemerintah hingga semeser I-2015 masih nampak adem-ayem dengan besaran sekitar 33,1%. Hal ini merujuk data prognosa semester I APBN 2015 rilis Kemenkeu, bahwa belanja pemerintah pusat baru sebesar Rp436,1 triliun dari pagu Rp1.319,5 triliun. Hal ini berimbas pada angka pertumbuhan yang kemudian berhenti di 4.9% dari target 5.2% di semester I. Padahal untuk memberikan dampak bagi pertumbuhan, percepatan serapan anggaran pembangunan dapat menjadi multivitamin bagi kondisi ekonomi nan layu tidak kunjung berkembang.
Sesungguhnya harapan dari proses penyerapan anggaran pemerintah dapat memberikan efek langsung jangka pendek, maupun keuntungan jangka panjang. Terlebih bila belanja modal pemerintah untuk proyek pembangunan mampu dimanfaatkan secara optimal dalam menambah geliat para pengusaha lokal secara berantai dari kelas kakap hingga level UKM dibawahnya.
Satu kendala yang kemudian disebut menjadi hambatan dalam melaksanakan penyerapan anggaran, adalah adanya kekhawatiran para pejabat baik ditingkat pusat maupun daerah, sebagai akibat tanggungjawab langsung serta konsekuensi hukum yang diemban sebagai pengguna dan pelaksana anggaran.
Kerangka penegakan hukum yang kemudian melihat delik rentang tanggungjawab secara renteng, tentu akan menempatkan pucuk pimpinan sebagai pesakitan, meski hal itu bisa jadi bukanlah inisiatif pribadi. Namun kesalahan apapun yang terjadi ditingkat bawah pasti akan menjalar hingga ke atas.
Bila sudah demikian, pejabat menjadi takut menggunakan anggaran, hingga walhasil kemudian pembangunan berjalan lambat cenderung stagnan. Kondisi ini akan bertambah celaka, dalam situasi seperti saat ini ketika ekonomi dunia pun tengah lunglai. Padahal kita butuh kegairahan ekonomi lokal untuk menjaga pertumbuhan ekonomi positif.
Komitmen, Pengabdian dan Pembangunan
Sejatinya, menjadi pejabat publik adalah panggilan pengabdian karena sifat atas tanggung jawabnya yang melekat. Menjadi pelayanan masyarakat, adalah sebutan yang harusnya memang dilakukan bagi kemaslahatan bersama.
Karena itu, pejabat publik harus memiliki sifat leadership didalam dirinya. Komitmen tulus yang konsisten adalah bentuk dari manifestasi panggilan pengabdian, lebih dari sekedar mendapatkan segudang fasilitas dan berbagai tunjangan yang menyertai jabatan tersebut.
Secara mudah kita melihat banyak pihak yang berlomba untuk terlibat dalam lelang jabatan, bahkan yang tampak secara kasat mata adalah membludaknya ketertarikan pencari kerja manakala terdapat open rekrutmen bagi calon Pegawai Negeri Sipil.
Perlu mungkin ditekankan lebih jauh, dalam pembekalan CPNS bahwa menjadi aparatur negara harus berorientasi pada upaya mendukung pencapaian tujuan negara. Termasuk didalamnya dalam soal serapan anggaran tadi, sehingga menjadi pejabat publik bukan sekedar asal bejo mencari pekerjaan semata tetapi berpikir tentang kemajuan dalam kerangka lebih besar secara nasional.