Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money

Popularisme Positif, Alternatif Solusi Krisis

8 Juli 2015   08:19 Diperbarui: 8 Juli 2015   08:19 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

 

Ketika hasil referendum Yunani didukung 61% pemilih untuk menolak persyaratan bantuan Uni Eropa, maka Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras menyebutnya sebagai kemenangan.

Kondisi ini jelas memperumit kondisi perundingan ulang dalam kerangka restruktrisasi hutang Yunani. Namun, bagi pendukung opsi Oxi-menolak dana talangan dengan persyaratan ketat, mekanisme referendum adalah kerangka menuju pembebasan.

Meski tidak seluruhnya kebebasan itu akan bisa dirasakan. Dalam konteks bernegara, Yunani berkategori sebagai negeri default -gagal bayar, khususnya dalam pemenuhan pembayaran hutang, kondisi ini jelas merupakan resiko terburuk.

Perbankan di negeri para dewa akan mengalami efek berantai, mulai dari keringnya likuiditas disertai dengan rush hingga ketidakpercayaan para nasabah. Disamping itu, ketidakpercayaan tentu akan merembet ke berbagai aspek lain, termasuk hubungan rating -peringkat investasi negara

Tentu menjadi buah simalakama bila opsi yang dipilih memiliki profil resiko yang tipikal, apakah mau bertahan dengan pinjaman yang kemudian mendikte semua kebijakan, atau menolak pinjaman dan harus mengatur ulang pondasi kehidupan ekonomi dari titik mendasar.

Sayangnya, hidup dari pinjaman memang memberikan efek fana dan membuat terlena, sehingga sulit untuk beradaptasi dengan tututan Uni Eropa yang bertindak sebagai kreditur untuk melakukan austerity-pengetatan yang diperoleh melalui pengenaan pajak tinggi serta berbagai instrumen lain.

Tiada solusi yang bisa dibuat oleh Alexis Tsipras selain menguatkan dukungan publik, menolak bantuan baru yang penuh dengan catatan serta kemudian menguatkan solidaritas internal dalam kehidupan bernegara untuk memupuk soliditas.

Pada titik ini popularisme kemudian muncul sebagai perekat dan pemersatu akan perasaan senasib sepenanggungan, sentimen positif tersebut harus terus menerus diteguhkan melalui role model kepemimpinan yang menjadi contoh nyata bagi masyarakatnya.

Popularisme Indonesia Akankah?

Apa maknanya bagi Indonesia? Kegagalan Yunani harus dilihat sebagai kesalahan dalam pengelolaan aspek pendanaan, hutang jadi tulang pokok pembiayaan negara. Sementara itu, kemampuan untuk membangkitkan potensi ekonomi domestik tidak berjalan seiring.

Kendala yang terjadi pada konsepsi anggaran kita adalah membentuk anggaran defisit dengan solusi pembiayaan hutang luar negeri, dibanding dengan melakukan set up anggaran berimbang. Penumpukan hutang, sudah banyak disebut sebagai menyembunyikan bom waktu.

Termasuk target defisit anggaran pemerintah RI yang sekitar 1.9-2% pada 2016, dimana target penerimaan negara dieskalasi 7.8% diangka Rp1.900 triliun. Menarik bila kemudian kita menganut prinsip keuangan seperti "every penny you saved, so every penny you earn".

Dibanding pusing untuk mencari tambahan pendapatan, maka kita sebaiknya mulai dengan fokus pengetatan anggaran konsumsi, menularkan sikap hidup hemat, mempelajari kembali penetapan prioritas yang bersifat urgent dalam hidup kita.

Tentu saja, dengan kondisi seperti ini perlu ditunjukkan oleh para pembesar negeri ini serta elit politik ditingkat atas. cost cutting anggaran yang tidak produktif bagi kepentingan masyarakat banyak perlu lebih diperhatikan. Studi banding, biaya rapat bisa dikonversi secara virtual.

Pos alokasi anggaran yang vital bagi kepentingan khalayak perlu mendapatkan fokus perhatian, termasuk infrastruktur, pertanian dan kelautan yang menjadi visi pemerintahan saat ini. Termasuk kerangka pemberdayaan UKM, membangun munculnya kekuatan ekonomi kecil yang massif.

Lebih jauh lagi, membangun popularisme tentu bukan sekedar membangun janji muluk kakpanye politik, tetapi hadir sebagai konsep hidup yang memperlihatkan kesederhanaan sebagai komitmen bersama secara konsisten.

Bila rakyat diminta hidup sederhana sementara para pemimpin yang mewakilinya kemudian bergelimang kemewahan tentu sulit membandingkan Indonesia mampu lebih solid dibanding Yunani. Jelas, kita merindukan pemimpin yang mampu bersikap rendah hati dan bersahaja layaknya pendiri bangsa seperti Bung Hatta yang mampu menahan diri dari gemerlap dunia bahkan untuk mengganti sepatu tuanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun