Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Krisis Yunani dan Prinsip Berdikari

6 Juli 2015   11:42 Diperbarui: 6 Juli 2015   11:42 2629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Apa yang terjadi pada krisis di Yunani saat ini perlu menjadi pelajaran bagi Indonesia. Meski terbilang tidak berkorelasi secara langsung, namun riak gelombangnya pasti lambat laun akan dirasakan secara global. Mencermati Yunani seolah melihat kenyataan bahwa hidup sederhana perlu biaya dan pengorbanan yang sangat besar.

Bagaimana tidak, Yunani memiliki rasio hutang hingga 177% dari PDB negeri para dewa yang sekitar U$242 miliar. Lebih jauh lagi data statistik ekonomi negeri Herkules ini terbilang negatif, pertumbuhan ekonominya hanya 0.2% dan senjang defisit anggaran mencapai 8% ditambah lagi dengan tingkat pengangguran yang mendekati 25,6%.

Gambaran suram tersebut jelas menyedihkan, terlebih karena selama ini pemerintah Yunani rajin berhutang untuk pembiayaan negara. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintahan Yunani gagal dalam mendorong kemandirian masyarakat, untuk secara bersama membentuk kekuatan ekonomi yang bertopang dari kemampuan sendiri yang terbebas dari intervensi bangsa luar.

Problemnya kemudian menjadi akut, setelah Yunani tergabung dalam kerangka ekonomi regional di Benua Eropa. Setelah menikmati hutang yang begitu besar, kini Yunani menolak untuk menerima hutang baru dengan berbagai persyaratan tambahan. Di satu sisi, sikap Yunani ini jelas mengundang risiko, khususnya bagi keberlangsungan roda operasional pemerintahan.

Optimisme Indonesia

Apakah Indonesia akan seperti Yunani? Hal ini dikuatkan oleh rumor yang kemudian beredar di berbagai media sosial tentang Indonesia akan menyusul Yunani dan PuertoRico. Meski dalam berbagai kesempatan dipaparkan bila rasio utang RI hanya 25%, senilai U$210 miliar, dengan pengganguran 5,815 dan pertumbuhan ekonomi rerata di atas 5%, kekhawatiran itu tidak dapat dipungkiri.

Secara prinsip, kita harus membangun optimisme ekonomi. Bahwa kasus serta situasi Yunani berbeda dari Indonesia. Fundamental ekonomi Indonesia secara struktur kuat. Namun seperti yang terjadi pada Krismon 98, ketika kita terlalu percaya diri memberikan statement fundamental ekonomi yang kuat, sekejap mata pula kenyataan berakhir berbeda, karena data ekonomi di kala itu hanya menjadi konsumsi manipulatif dari bawah untuk disajikan sebagai laporan kepada atasan di pusat.

Bila kemudian kondisi kali ini hendak dibuat secara berbeda, menarik untuk kembali menerapkan skema Berdikari- Berdiri di atas Kaki Sendiri sebagaimana Bung Karno pernah nyatakan. Kemandirian bangsa menjadi pembeda dari negara lain, kekuatan ekonomi ditopang dari desa hingga ke kota dengan partisipasi seluruh warga, konsepsi koperasi menjadi lembaga ekonomi desa dan daerah.

Jika kemandirian tidak tercapai, yang kemudian tersisa adalah hilangnya harga diri. Apa yang Yunani lakukan dengan mengadakan referendum, adalah bagian dari kepentingan menolak agenda pihak luar, membentuk kesepahaman pemikiran dan meningkatkan harga diri bangsa.

Sayangnya, tujuan mulia dari pemerintahan berkuasa di Yunani tersebut dilakukan terlambat, setelah berada di titik nadir terdalam. Terlebih karena sikap hidup sederhana kemudian menghilang, gaya hidup konsumtif menjadi tidak terkendali, tanpa kemampuan sendiri melainkan mendapatkan fasilitas dana talangan hutang.

Apa maknanya bagi Indonesia? Jelas bahwa pemerintah perlu melakukan reorientasi persepsi terkait hutang luar negeri. Selama ini pos pembiayaan masih menempatkan pinjaman sebagai sumber pendanaan. Secara finansial hal itu benar, namun mengandalkan hutang untuk membiayai program rutin jelas hal yang perlu dievaluasi.

Pembangunan hendaknya disusun berdasarkan prioritas yang jelas, disertai pembenahan sektor penerimaan pemerintah melalui pajak yang lebih massif dan sistematik. Memastikan pula ruang bagi bertumbuhnya inisiatif usaha baru di tingkat mikro yang menggerakkan roda ekonomi riil adalah langkah yang perlu dilakukan pemerintah dalam membangun kemandirian.

Bagaimana kemandirian dapat dilakukan di era globalisasi? Tentu saja pemerintah harus sudah berpikir tentang gejolak perubahan, di mana arus uang dan barang serta jasa akan mengalami perubahan seiring putaran globalisasi. Untuk itu, penguatan kemampuan di tingkat desa dan pengembangan sumber daya ekonomi nasional dilakukan secara terpadu, sebagai sebuah kemandirian bersama.

Kini bayangkan Yunani yang sudah tidak lagi memiliki cadangan keuangan? Hanya China yang bersiap untuk memberikan bantuan pinjaman, terlebih Eropa sudah tidak bersedia memberikan tambahan pinjaman, di samping itu Amerika juga belum tumbuh dalam posisi ekonomi terbaiknya. Syarat yang diminta oleh Negeri Tirai Bambu sederhana, dengan melakukan pembelian asset negara. Bila kemudian privatisasi terjadi di Yunani untuk menghindari kebangkrutan, bisa jadi ada negara baru yang bergaya Eropa dengan citarasa Asia, karena semua assetnya telah beralih kepemilikan.

Bila kita pernah merasakan hal itu pada medio krisis ekonomi '98 lalu, hendaknya kita kembali belajar, mengambil intisari terbaik dan mengantisipasinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun