Baik dan buruk adalah bagian yang berbeda, dari satu keping mata uang yang sama. Secara harafiah, kita akan selalu berhadapan dan menentukan, pilihan tindakan yang akan berdampak baik secara baik maupun buruk. Hal itu pula yang terjadi pada generasi kita dimasa kini. Ketika teknologi dan internet bukan lagi menjadi barang mewah, bahkan mudah diakses dari waktu ke waktu.
Generasi dunia kali ini dikenal sebagai net generation, yang selalu berayun dari berbagai kompleksitas sosial yang dihadapi. Melalui teknologi pula, generasi saat ini menjadi lebih cepat beradaptasi. Sifatnya terburu-buru, sangat eksis cenderung narcism, berkelompok dalam ikatan yang kuat secara digital dalam suatu komunitas, meskipun terkurung secara fisik dalam ruang kamar yang sepi.
Tidak bisa diabaikan pula, teknologi membuat generasi dunia kali ini menjadi lebih pintar dan produktif. Namun disi lain, disamping ekses positif maka terdapat pula imbas negatif yang tidak terfasilitasi. Seringkali kita berolok-olok tentang fenomena sosial bernama alay dan cabe-cabean. Sesungguhnya dalam logika kurva normalitas, maka ada saja memang bagian tertinggal dan tersisa.
Mereka yang dikenal sebagai kelompok laggard. Dalam era cyber yang ditandai dengan interkoneksi dunia melalui internet, maka kondisi ini mudah dipahami. Teknologi dan internet yang melahirkan generasi ini, dan generasi ini pula berinteraksi mendalam dengan kedua tools tersebut. Agresifitas, bahkan kerap tampil dalam ektrimitas tertentu, adalah cara menarik perhatian yang dipahami.
Sesungguhnya, generasi alay dan cabe-cabean, adalah bagian dari generasi muda yang memandang dunia secara berbeda. Mereka melihat sesuai dengan sudut pandang yang mereka sukai -favorable. Mereka kemudian berkumpul dalam komunitas, dengan ruang pengertian serta persepsi yang sama. Dan kumpulan ini pun tebangun sebagai kolektif, dengan berbasis teknologi.
Jadi inilah dampak yang terjadi dari perkembangan teknologi, yang tidak terperkirakan sebelumnya. Dalam skema komunikasi, maka teknologi kini membuka ruang distribusi informasi secara massif dan tidak terbendung. Perilaku mudah sekali di-absorp tanpa dicerna. Dan pola komunikasi terjadi melalui interaksi many to many, dan individu menjadi bagian terikat secara kelompok.
Komunikasi yang semakin tersederhanakan, membuat gaya tulisan tekstual ala alay nan lebay menjadi format yang sulit dipahami kecuali oleh kumpulannya. Pola interaksi tekstual yang bersifat setara itu, membuat keseragaman diantara anggota kelompok, yang mungkin menjadi sulit untuk dimengerti pihak lain. Bagaimana mengatasinya? Ketika orang tua lebih sulit didengar ketimbang pemimpin kelompok? Melalui digital parenting, kemungkinan yang sama pun terbuka untuk memantau anak kita.
Berteman disocial media, memperhatikan lini masa. Melihat persoalan yang timbul dari tampilan cuitan maupun update status. Menjadikan anak dari generasi kita sebagai sahabat. Generasi alay dan cabe-cabean merupakan kelompok yang menyisihkan diri karena ketiadaan ruang untuk berdiskusi. Komunikasi fisik yang memmberikan penekanan pada gesture -bahasa tubuh dan intonasi yang disertai dengan ekspresi langsung kemudian berubah secara digital.
Pola komunikasi tekstual dengan menghilangkan aspek fisik, membuat kata dalam pembicaraan menjadi hampa, meski bahkan digantikan dengan emoticon sekalipun. Alay dan cabe-cabean hanya dapat dipahami, bila ruang pendekatan secara sosial kepada mereka dapat dilakukan. Hal ini merupakan kombinasi dari aktifitas digital, untuk memantau aktifitas keseharian mereka. Termasuk membuka ruang mendengar dan berkomunikasi secara fisikal serta interaktif, melalui rasa kasih sayang orang tua kepada anaknya.
Semoga alay dan cabe-cabean segera berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H