Salah satu kegagalan dalam proses berorganisasi adalah ketidakmampuan untuk membuahkan proses kepemimpinan berkelanjutan, karena keseluruhan rangkaian aktifitas bisnis menjadi berhenti pada satu figur personal, disitulah titik awal berhentinya gerak mesin organisasi.
Tokoh yang menjadi pembicaraan kali ini adalah Karen Agustiawan yang terlihat mendadak mundur dari jabatan sebagai Direktur Utama Pertamina, dengan alasan pribadi untuk menjadi pengajar dan memiliki waktu me-time.
Banyak spekulasi yang berkembang terkait dengan berbagai hal yang nampak mendadak, namun satu yang pasti perusahaan pelat merah seperti Pertamina tidak bisa berhenti hanya karena seorang Karen, sebab begitu banyak telenta berbakat yang dapat mengganti posisi kosong tersebut.
Tentu harapan yang digantungkn adalah bahwa suksesi pergantian kepemimpinan di Pertamina tetap dapat membawa perusahaan negara ini menjadi elemen penting yang dapat bersaing serta bersuara ditingkat dunia.
Leadership yang berhasil dalam transformasi adalah ketika mampu bersinergi untuk menciptakan kepemimpinan baru secara simultan sehingga perkembangan berjalan secara berkelanjutan bagi kepentingan organisasi itu sendiri.
Tipikal One Man Show Management tentu bukan pilihan, dan kondisi tersebut hanya dapat dipahami pada saat perombakan dan fase restrukturisasi yang dilakukan pasca keterpurukan, namun hal terpenting adalah sentuhan profesionalisme secara terfokus, bukan tidak mungkin tampuk kepemimpinan akan dikelola oleh personal dari luar Pertamina.
Karena pilihan Karen adalah kehendak individual, maka tentu tidak terdapat hal yang dapat membatalkan niat pribadi tersebut. Sehingga, dalam hal ini kemampuan regenerasi Pertamina atau proses suksesi yang melibatkan pihak diluar Pertamina sekalipun harus tetap pada posisi menjadi perusahaan berskala internasional yang dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat bangsa ini.
Tembus ke 500 Fortune untuk kategori perusahaan terbesar kedunia berperingkat 122 dan masuk jajaran wanita berpengaruh didunia bisnis versi Fortune Global diurutan ke 6 adalah sebuah pengakuan akan kapasitas, namun bukan berarti tidak ada yang setara atau bahkan lebih.
Melalui skema yang hampir monopolistik dengan bentang rentang hulu ke hilir, khususnya untuk urusan minyak bumi maka Pertamina sebenarnya memiliki fundamental yang kuat secara bisnis. Namun faktor diluar kendali bisnis yang kerap menjadi ganjalan karena ini urusan hajat hidup orang kebanyakan, termasuk segelintir orang yang bergelimang kemewahan dari urusan minyak bumi.
Bila dibandingkan dengan negara setaranya di Asia Tenggara dengan menengok lokasi yang tidak seberap jauh maka kita tentu akan melihat Petronas dengan kapasitasnya yang hampir mirip bahkan jauh lebih besar. Berbekal pendapatan Petronas sepanjang 2013 adalah U$100,7 miliar dan laba bersih U$17 miliar berbanding Pertamina melalui torehan U$71,1 miliar berlaba U$3,06 miliar.
Padahal sepanjang pengalaman sejarahnya, Petronas adalah perusahaan asing yang pernah mengadopsi gaya pengelolaan minyak bumi ala Pertamina pada periode dekade 1970-an. Tentu hal ini menjadi sebuah hal yang perlu dikoreksi secara komprehensif, bayangkan bila Petronas terpampang sebagai sponsor resmi tim balap Mercedes Benz-Formula 1, disisi yang serupa Pertamina masih berkutat dengan sponsorhip GP Formula2. Meski untuk hal itu pun, kita masih perlu patut berbangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H