Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Soal Harga yang Harus dibayar, Harga Diri & Politik Transaksional

10 Oktober 2014   16:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:37 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ungkapan yang menarik akan terjadi saat kita berbicara mengenai harga, dalam ilmu ekonomi, maka pertemuan demand and supply akan menciptakan terjadinya transaksi atau dikenal sebagai pertukaran uang atas barang dan jasa, sedangkan harga adalah nilai yang telah ditetapkan atas produk atau jasa tersebut.

Kini kita akan memulai aspek pembahasan, dengan mengurai statement yang meluncur dari salah seorang politisi nasional tentang harga yang harus dibayar atas kemenangan pihak lain dalam pentas PilPres. Menggunakan sudut pandang yang sama, maka politik sebenarnya memang merupakan tindakan transaksional yang melibatkan aktifitas jual-beli disertai dengan tawar menawar.

Pada ranah ekonomi, kita mengenal bahwa nilai adalah hasil dari perbandingan antara benefits yang didapatkan atas biaya pengorbanan yang harus dikeluarkan, ketika harga mengacu pada nilai yang ditawarkan maka berlaku hukum pasar akan supply and demand, aktifitas pemasaran dan promosi menjadi bagian dalam meningkatkan jangkauan audiens guna mendapatkan awareness.

Pada ujung yang paripurna dalam perspektif ekonomi, maka mekanisme transaksional melibatkan trade off antara harapan yang diinginkan dengan kenyataan yang didapatkan, hal tesebut kemudian mewujud menjadi sebuah gagasan tentang kepuasan, dan rasa satisfed tersebut pula yang pada akhirnya menciptakan pembelian ulang serta menciptakan lapisan pelanggan.

Relasi Ekonomi Politik

Politik yang memiliki muara pada tujuan kekuasaan jelas membutuhan berbagai sumberdaya, termasuk diantaranya waktu, pemikiran, tenaga, uang dan manusianya itu sendiri. Sehingga politik memang berkorelasi secara melekat dengan hal yang berkaitan dengan aspek ekonomi dan keekonomian.

Dibanyak negara momentum politik dapat diawali atau bahkan ditutup dengan krisis ekonomi, bahkan negara ini pernah merasakan hal yang sama pada medio '97-'98 saat krisis moneter dan terjadi kelesuan ekonomi diakhiri dengan pelengseran peran penguasa disertai dengan perubahan peta politik masa itu.

Kini kondisinya berbeda, stabilitas ekonomi di dalam negeri bisa jadi bermasalah sebagai akibat dari berbagai macam situasi yang berkembang diranah politik, timbang saja arus modal yang keluar karena blok koalisi politik dari partai politik di parlemen yang saling beradu argumentasi.

Bahkan disebut capital outflow dalam satu bulan terakhir mencapai Rp7.7 triliun, kalau sudah begini krisis politik bisa berujung pada keguncangan ekonomi, sebuah fenomena yang berbeda dari apa yang telah kita alami pada periode Krismon '97-'98.

Kembali pada persoalan politik transaksional, maka hal tersebut adalah konteks dari realita politik kontemporer yang kita hadapi saat ini, dengan pameo “tiada makan siang yang gratis” maka orientasi akhir yang dituju selain kepentingan kekuasaan adalah penguasaan sumber ekonomi.

Menjawab persoalan harga yang harus dibayar seperti yang diungkapkan diatas, maka nilai atas harga itu adalah totalitas dari kepentingan seluruh rakyat Indonesia, karena kepemimpinan nasional berarti mempertanggungjawabkan secara menyeluruh atas aspirasi masyakat sesuai konstitusi.

Jadi, siapa yang akan berlaku apa? Hal itu akan sangat bergantung dari skenario aktor pada panggung politik yang akan dilakonkan dan dijalankan, dalam formulasi yang berada pada sudut kepentingan publik secara meluas. Dan hal itu hanya dapat dibangun dengan menguatkan peran kepemimpinan nasional yang harus merangkul kepentingan semua warga bangsa ini.

Sehingga harga yang harus dibayar, dapat ditransaksikan dengan harga diri ketika pola perilaku kepemimpinan mendatang memang memiliki fokus akan tujuan bagi pemenuhan kepentingan masyarakat alih-alih dibandingkan dengan mendahulukan kepentingan segelintir kelompok.

Politik transaksional tentu tidak bisa dihindari dalam hal ini, dan hanya kepada yang memiliki tendensi untuk berpihak kepada kepentingan bersama. Karena bangsa dan seluruh warga negara ini terlalu besar untuk dihancurkan dalam sekat kepentingan yang picik bagi elit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun